Fatwapedia.com – Pahala adalah sesuatu hal yang ghoib yang الله Subhânahu wa Ta‘âlâ berikan atas ‘amal shôlih, yaitu ‘amalan yang dilakukan oleh seorang hamba muslim, yang dilakukan dengan niyat yang ikhlâsh, dan sesuai dengan tuntunan Rosûlullôh ﷺ. Urusan pahala ini ditangani langsung oleh الله Subhânahu wa Ta‘âlâ sesuai dengan keagungan-Nya.
Pahala ini sangatlah penting, sebab ia merupakan tanda kemuliaan dan hakikat penghambaan seseorang terhadap الله Subhânahu wa Ta‘âlâ, sehingga setiap muslim wajib untuk memaksimalkan berbuat ‘amalan kebaikan yang bisa mendatangkan pahala selama masa hidupnya di Dunia.
Firman Allah Subhânahu wa Ta‘âlâ:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
(arti) “Maka berlomba-lombalah dalam berbuat ‘amal kebaikan.” [QS al-Baqoroh (2) ayat 148].
Intinya, seorang muslim wajib mengerahkan segala daya upaya untuk mengerjakan ‘amal shôlih agar “tabungan pahalanya” lebih banyak dibandingkan dengan “tabungan dosanya”.
Namun demikian, seorang muslim itu wajib memiliki perasaan takut dan khawatir bahwa ‘amal kebaikannya itu ternyata tidak diterima sebagai ‘amal shôlih oleh الله manakala mereka melalaikan syarat-syarat yang harus mereka penuhi agar menjadi ‘amal yang shôlih – yang mana ia adalah merupakan bagian dari kesempurnaan îmân.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
(arti) “Maka tidaklah merasa aman dari ancaman adzab Allôh melainkan orang-orang yang merugi.” [QS al-A‘rôf (7) ayat 99].
Selain takut tidak diterimanya ‘amal kebaikannya sebagai ‘amal shôlih, seorang muslim juga wajib memiliki rasa takut terhadap gugurnya tabungan pahalanya itu karena sebagaimana yang namanya tabungan, ada yang awet bahkan terus bertambah, namun ada tabungan terus berkurang bahkan bisa habis…!
Lihatlah betapa banyak orang yang ber‘amal kebaikan namun ternyata pahala ‘amalnya tersebut terhapus seketika dan sia-sialah ‘amal kebaikannya layaknya debu tertiup angin kencang. Pahala ‘amal kebaikannya itu terhapus akibat adanya ‘amalan-‘amalan buruk yang dilakukan oleh orang tersebut.A
Apa saja ‘amal buruk yang bisa membuat terhapusnya pahala dari ‘amal kebaikan seorang muslim layaknya rayap yang menggerogoti lembaran kertas itu…?
1. Murtad & Syirik Besar Menghapus Pahala
Siapa saja yang keluar dari agama Islâm (melakukan kemurtadan), maka semua pahala atas ‘amal kebaikan yang pernah ia lakukan sebelumnya akan dihapus dan dianggap tidak bernilai apa-apa di sisi الله Subhânahu wa Ta‘âla, kemudian di Âkhirot ia akan dimasukkan ke dalam Neraka selama-lamanya.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
(arti) “(Wahai orang-orang berîmân,) Dan siapa saja di antara kalian yang murtad dari agama Islâm kemudian ia mati dalam keadaan kâfir, maka mereka itulah orang-orang yang sia-sia ‘amalan kebaikannya di Dunia dan di Âkhirot. Mereka itulah penghuni Neraka, dan mereka kekal selamanya berada di dalamnya.” [QS al-Baqoroh (2) ayat 217].
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
(arti) “Siapa saja yang keluar dari agama Islâm, sungguh pahala ‘amalannya akan gugur. Pada hari Qiyâmat kelak ia termasuk orang-orang yang merugi.” [QS al-Mâ-idah (5) ayat 5].
Siapa saja yang melakukan perbuatan “Syirik Besar” maka ‘amalannya akan dihapus oleh الله, karena perbuatan kesyirikan besar dengan berbagai jenisnya merupakan bentuk kezhôliman yang paling besar dan suatu penghinaan terhadap الله Subhânahu wa Ta‘âlâ – sebab ia menyamakan derajat الله dengan makhluq ciptaan-Nya. Oleh karena itu, balasan yang setimpal terhadap perbuatan Syirik Besar hanyalah terhapusnya semua pahala ‘amalan kebaikan yang pernah dilakukan oleh pelakunya. Kemudian apabila ia tidak sempat bertaubat dan mati dalam keadaan berbuat syirik, maka ia takkan diampuni oleh الله Subhânahu wa Ta‘âla.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(arti) “Seandainya mereka mempersekutukan Allôh, niscaya lenyaplah dari mereka pahala ‘amalan kebaikan yang telah mereka kerjakan.” [QS al-An‘âm (6) ayat 88].
Begitu buruknya perbuatan Syirik Besar itu, bahkan para Nabiyullôh saja الله ancam akan hapus pahala ‘amalan kebaikan mereka – walau tidak pernah ada ceritanya di antara Nabiyullôh itu yang mungkin (apalagi pernah) berbuat Syirik Besar.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
(arti) “(Wahai Muhammad,) Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabî-nabî yang sebelum kamu: “Apabila kamu berbuat kesyirikan (kepada Allôh), niscaya akan gugur dan terhapuslah pahala ‘amalmu, dan tentulah kamu di Âkhirot termasuk orang-orang yang merugi!”” [QS az-Zumar (39) ayat 65].
Begitu juga anak-keturunan para Nabiyullôh telah الله ancam akan dihapus pahala ‘amal kebaikannya apabila mereka berbuat Syirik Besar.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(arti) “Apabila anak keturunan para nabî itu berbuat kesyirikan, niscaya pahala ‘amal kebaikan yang telah mereka lakukan akan sia-sia!” [QS al-An‘âm (6) ayat 88].
Keduanya, syirik dan murtad, jelas menjadi penghalang diterimanya ‘amalan kebaikan di sisi الله, karena الله amat sangat membenci kesyirikan apalagi kemurtadan. Segala jenis kebaikan apapun dari pelaku (kesyrikan / kemurtadan), sebaik dan seindah apapun ‘amalan kebaikanny aitu, tetap الله takkan menerimanya apabila itu tercampur dengan Syirik Besar atau kemurtadan. Kemudian manakala mereka mati dalam kondisi demikian, maka Neraka adalah tempat mereka selamanya di Âkhirot kelak, selamanya…!
Kita berdo’a:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
{yâ muqollibal qulûb, tsabbit qolbiy ‘alâ dînik}
(arti) “Wahai Dzat yang Maha Maha Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
2. Riyâ’ & Sum‘ah Menghapus Pahala
Intinya riyâ’ dan sum ‘ah itu adalah melakukan ‘amalan Âkhirot untuk tujuan keduniawian.
Riyâ’ adalah ketika seseorang ber‘amal kebaikan, ia lalu sengaja memperlihatkan ‘amalannya itu kepada manusia dengan maksud mengharapkan suatu kebaikan duniawi bagi dirinya dari orang melihatnya.
Di dalam sebuah Hadîts Qudsi, kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
(arti) “Aku paling tidak butuh pada sekutu-sekutu, siapa saja yang ber‘amal sebuah ‘amalan, kemudian ia mempersekutukan-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan ia dan kesyirikannya itu!” [HR Muslim no 2985; Ibnu Mâjah no 4202; Ahmad no 7658, 9246].
Imâm Yahyâ ibn Syaraf an-Nawawî رحمه الله mengatakan bahwa makna dari “Aku tidak butuh pada persekutuan dan yang lainnya” adalah siapa saja ber‘amal sesuatu untuk الله dan untuk selain dari الله, maka الله tidak menerimanya, bahkan الله meninggalkannya untuk yang lainnya itu. Maksudnya yaitu ‘amal orang yang melakukan riyâ’ adalah bathil dan tidak ada pahala di dalamnya, bahkan ia berdosa. [lihat: Syarh Shohîh Muslim IX/370].
Ada banyak hadîts yang menyatakan kekhawatiran Rosûlullôh ﷺ terhadap riyâ’ yang akan dialami oleh ummatnya, di antaranya adalah Rosûlullôh ﷺ menyatakan bahwa riyâ’ dan sum‘ah ini adalah “Syirik Kecil” atau “Syirik Khofî” (tersembunyi) dengan mencontohkannya dengan seseorang yang berdiri sholât lalu ia memperindah sholâtnya demi dilihat dan dipuji oleh orang-orang yang melihatnya:
Kata Baginda Nabî ﷺ:
الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
(arti) “Kesyirikan tersembunyi adalah seseorang yang mendirikan sholât dan memperindah sholâtnya itu karena ia tahu ada orang yang memperhatikannya.” [HR Ibnu Mâjah no 4204; Ahmad no 10882].
Riyâ’ itu memiliki beragam jenis dan bentuknya. Ma‘qil ibn Yasâr رضي الله عنه menuturkan sebuah kisah bahwa ia pernah bersama Abû Bakar ash-Shiddîq رضي الله عنه untuk pergi menemui Nabî ﷺ.
Nabî ﷺ berkata: “Wahai Abû Bakar, pada kalian ada syirik yang lebih tersembunyi daripada langkah seekor semut.”
Abû Bakar lalu bertanya: “Bukankah syirik adalah seseorang telah menjadikan selain Allôh sebagai sekutu bagi-Nya? “
Nabî ﷺ lalu menjawab: “Demi Allôh, Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, syirik (kecil) lebih tersembunyi daripada langkah seekor semut. Maukah kamu aku tunjukkan sesuatu (do’a) yang jika kamu mengucapkannya, maka akan lenyaplah (syirik tersembunyi itu), baik sedikit maupun banyak?
Ucapkanlah:
الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
{allôhumma innî a-‘ûdzubika an usyrika bika wa anâ a‘lamu, wa astaghfiruka limâ lâ a‘lam}
(arti) “Wahai Allôh, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari perbuatan kesyirikan terhadap-Mu dalam keadaan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari perbuatan kesyirikan yang aku tidak mengetahuinya.”” [HR al-Bukhôrî, al-Adab al-Mufrod no 716].
Sum‘ah adalah ketika seseorang menceritakan ‘amalan kebaikan yang pernah dilakukannya dengan maksud agar ia disanjung oleh orang yang mendengarnya.
Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
(arti) “Siapa saja yang ber‘amal karena sum‘ah, Allôh akan menjadikannya dikenal sum‘ah. Siapa saja ber‘amal karena riyâ’, Allôh akan menjadikannya dikenal riyâ’.” [HR al-Bukhôrî no 6499, 7152; Muslim no 2986, 2987; Ibnu Mâjah no 4206, 4207; Ahmad no 10930, 18055, 19557].
Melakukan ‘amalan Âkhirot untuk hal-hal keduniawian adalah termasuk penghapus terhadap pahala ‘amal kebaikan yang dikerjakan.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ۞ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
(arti) “Siapa saja yang menghendaki kehidupan di Dunia dengan segala gemerlapnya, niscaya Kami akan berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka itu di Dunia dengan sempurna, dan mereka di Dunia itu takkan dirugikan sedikitpun. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di Âkhirot sedikitpun, kecuali Neraka. Lenyaplah di Âkhirot apa yang telah mereka usahakan di Dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [QS Hûd (11) ayat 15-16].
Kata Baginda Nabî ﷺ:
بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْآخِرَةِ نَصِيبٌ
(arti) “Ummat ini diberi kabar gembira dengan para perempuan, kemuliaan, agama, pertolongan, dan kekuasaan di muka Bumi. Siapa saja di antara mereka yang melakukan ‘amalan Âkhirot untuk Dunia, maka di Âkhirot ia tidak akan mendapatkan bagian apapun.” [HR Ahmad no 20275].
3. Mendatangi Dukun, Peramal, Paranormal Menghapus Pahala
Baru sekadar mendatangi paranormal (dukun / peramal atau yang sejenisnya), maka itu telah mengakibatkan tidak diterimanya ‘amal kebaikan selama 40 hari.
Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً
(arti) “Siapa saja yang mendatangi peramal, kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidaklah diterima sholâtnya selama 40 malam.” [HR Muslim no 2230].
Bahkan, apabila sampai membenarkan (meyakini) apa yang dikatakan oleh si paranormal itu, maka seseorang telah terjatuh ke dalam kekufuran!
Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
(arti) “Siapa saja yang mendatangi peramal dan mempercayai ucapannya, maka sungguh ia telah kufur terhadap syari‘at yang diturunkan kepada Muhammad.” [HR Ibnu Mâjah no 639; Abû Dâwûd no 3904; Ahmad no 8922, 9779; ad-Dârimî no 1176].
Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb رحمه الله mengatakan bahwa dukun / paranormal / peramal dan yang sejenisnya itu termasuk dari biang Thôghût:
والطواغيت كثيرة ، ورؤوسهم خمسة : إبليس لعنه الله ، ومن عبد وهو راض ، ومن دعا الناس إلى عبادة نفسه ، ومن ادعى شيئا من علم الغيب ، ومن حكم بغير ما أنزل الله
(arti) “Thôghût itu banyak macamnya, dan biangnya ada lima, yaitu: ⑴ Iblîs la‘natullôh, ⑵ orang yang di‘ibadahi selain Allôh dan ia ridho atasnya, ⑶ orang yang menyeru manusia untuk meng‘ibadahi dirinya, ⑷ orang yang mengklaim dirinya mengetahui ‘ilmu ghoib (paranormal / dukun / peramal), dan ⑸ orang yang menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan oleh Allôh.” [lihat: Tsalâtsatul-Ushûl hal 195].
Padahal, kita diperintahkan oleh الله Subhânahu wa Ta‘âla untuk hanya menyembah-Nya semata dan menjauhi Thôghût.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
(arti) “Sungguh Kami telah mengutus rosûl pada setiap ummat dengan seruan: “Sembahlah Allôh semata dan jauhilah Thôghût!”” [QS an-Nahl (16) ayat 32].
4. Kedurhakaan Anak Terhadap Orangtua, Mengungkit-Ungkit Shodaqoh Yang Diberikan, Mendustakan Taqdir
Pelaku tiga perbuatan itu diancam dengan gugurnya pahala ‘amalan kebaikan yang mereka kerjakan.
Kata Baginda Nabî ﷺ:
ثَلَاثَةٌ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا : عَاقٌّ ، وَمَنَّانٌ ، وَمُكَذِّبٌ بِالْقَدَرِ
(arti) “Ada 3 golongan manusia yang Allôh tidak akan menerima dari mereka ‘amalan wajib (fardhu) dan tidak pula ‘amalan sunnat (nafilah) mereka pada Hari Qiyâmat kelak, yaitu: ⑴ seseorang yang durhaka kepada orangtuanya, ⑵ seseorang yang menyebut-nyebut shodaqoh pemberiannya, dan ⑶ seseorang yang mendustakan taqdir.” [HR ath-Thobrônî no 7547; Ibnu Abî ‘Âshim, as-Sanah no 323 ~ dishohîhkan oleh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, as-Silsilah Ahâdîts ash-Shohîhah no 1785].
Begitu tingginya kedudukan kedua orang tua itu bahkan bersyukur seorang hamba kepada kedua orangtuanya الله gandengkan dengan bersyukur kepada-Nya.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
(arti) “Hendaklah kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.” [QS Luqmân (31) ayat 14].
Di dalam ayat yang lain, الله memerintahkan untuk menyembah الله semata dan melarang berbuat kesyirikan, kemudian الله menggandengkannya dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
(arti) “Dan ‘ibadahilah Allôh, dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada dua orangtua.” [QS an-Nisâ’ (4) ayat 36].
Bahkan, dari pengertian sebuah hadîts, seseorang belumlah dikatakan bersyukur (tidak diterima rasa syukurnya) kepada الله apabila ia tidak berterima kasih kepada kedua orangtuanya.
Kata Baginda Nabî ﷺ:
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
(arti) “Belumlah seseorang dikatakan bersyukur kepada Allôh sebelum ia mampu berterima kasih kepada manusia.” [HR al-Bukhôrî, al-Adab al-Mufrod no 218; Abû Dâwûd no 4811; at-Tirmidzî no 1954].
Sederhananya, apabila tidak berterima kasih kepada manusia saja sudah dikatakan belum bersyukur kepada الله, maka apalagi tidak berterima kasih kepada kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkannya?
Adapun orang yang mengungkit-ngungkit shodaqoh yang sedang atau sudah diberikannya sehingga menyakiti perasaan penerima shodaqoh-nya itu, maka pahala ‘amal shodaqoh-nya itu terhapus.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُواصَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
(arti) “Wahai orang-orang mu’min, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shodaqoh-mu dengan menyebut-nyebutnya sehingga menyakiti perasaan si penerimanya.” [QS al-Baqoroh (2) ayat 264].
Contoh dari mengungkit-ngungkit shodaqoh itu adalah dengan mengatakan: “Aku telah memberimu shodaqoh, maka berbuat baiklah padaku!”, di mana hal tersebut adalah suatu dosa dan bisa menghapus pahala ‘amalan shodaqoh tersebut. Ini juga sama halnya dengan memberikan shodaqoh tetapi dengan cara yang membuat si penerima tersakiti atau terhina, seperti bershodaqoh dengan penuh ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang menampakkan kesombongan, atau sambil mengejek si penerima, atau menceritakan perihal shodaqoh itu kepada khalayak sehingga membuat si penerimanya malu dan tersakiti.
Mendustakan taqdir akan menghapuskan pahala ‘amalan kebaikan.
Kata Baginda Nabî ﷺ:
وْ أَنَّ اللَّهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ عَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ وَلَوْ أَنْفَقْتَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ مَا قَبِلَهُ اللَّهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ وَلَوْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا لَدَخَلْتَ النَّارَ
(arti) “Seandainya Allôh mengadzab seluruh penduduk Langit dan Bumi, niscaya Dia mengadzab mereka tanpa berbuat zhôlim kepada mereka, dan seandainya Allôh merahmati mereka, niscaya rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka daripada ‘amal-‘amal mereka. Dan ketahuilah, seandainya kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud di jalan Allôh, niscaya Allôh takkan menerima darimu hingga kamu berîmân kepada taqdir, dan kamu meyakini bahwasanya apa yang ditaqdirkan menimpamu pasti takkan meleset darimu, dan apa yang ditaqdirkan meleset darimu, niscaya takkan menimpamu. Jika kamu mati di atas keyakinan selain dari keyakinan itu, niscaya kamu masuk Neraka!” [HR Abû Dâwûd no 4699; Ibnu Mâjah no 77; Ahmad no 20607, 20626, 20666].
5. Mengakui Selain Ayah Kandungnya Sebagai Ayah Kandungnya
Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَنْ تَوَلَّى قَوْمًا بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ، لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ
(arti) “Siapa saja yang mengakui selain dari ayahnya (sebagai orang tua nasabnya), atau mengakui selain tuannya sebagai majikan pemiliknya karena membencinya, maka baginya la‘nat Allôh, la‘nat para Malâ-ikat, dan seluruh manusia, serta Allôh Subhânahu wa Ta‘âla takkan menerima ‘amalan wajib maupun sunnahnya.” [HR al-Bukhôrî no 1870, 6755; Muslim no 1370, 1371; at-Tirmidzî no 2127; Ahmad no 986, 1231, 9432].
Kata Baginda Nabî ﷺ:
لاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيهِ فَهُوَ كُفْرٌ
(arti) “Janganlah kalian membenci ayah-ayah kalian, sungguh-sungguh siapa saja yang membenci ayahnya, maka itu adalah kekufuran!” [HR al-Bukhôrî no 6768, Muslim no 62; Ahmad no 10393].
6. Bersumpah Atas Nama Allah Bahwa Seseorang Takkan Diampuni-Nya
Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk ucapan berbicara tentang الله tanpa ‘ilmu, sebab ampunan الله itu adalah perkara ghoib yang tidak bisa seseorang pun mengatasnamakan الله dalam menyatakan hal tersebut.
Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
(arti) “Katakanlah (wahai Muhammad): “Robb-ku hanya mengharômkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharômkan) mempersekutukan Allôh dengan sesuatu yang Allôh tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharômkan) mengada-adakan terhadap Allôh apa saja yang tidak kamu ketahui.”” [QS al-A‘rôf (7) ayat 33].
Jadi walaupun seseorang itu tampak banyak berbuat dosa dan kemaksiyatan, namun tidak boleh langsung dipastikan bahwa ia takkan diampuni oleh الله, dan setelah matinya sengsara diadzab di Neraka. Sebab, boleh jadi suatu saat orang tersebut mendapat hidayah sehingga ia bertaubat atau الله benar-benar mengampuni orang tersebut.
Dalam hadîts dari Shohâbat Jundub ibn ‘Abdullôh رضي الله عنه, bahwasanya Baginda Nabî ﷺ pernah mengisahkan bahwa ada seseorang berkata: “Demi Allôh, Allôh pasti takkan mengampuni si Fulân!”
Maka الله Subhânahu wa Ta‘âla berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ
(arti) “Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si Fulân? Sesungguhnya Aku telah mengampuni si Fulân, dan Aku menggugurkan ‘amalmu!” [HR Muslim no 2621].
Di dalam hadîts lain, dari Shohâbat Abû Huroiroh رضي الله عنه, Baginda Nabî ﷺ mengisahkan:
كَانَ رَجُلاَنِ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ مُتَآخِيَيْنِ فَكَانَ أَحَدُهُمَا يُذْنِبُ وَالآخَرُ مُجْتَهِدٌ فِي الْعِبَادَةِ فَكَانَ لاَ يَزَالُ الْمُجْتَهِدُ يَرَى الآخَرَ عَلَى الذَّنْبِ فَيَقُولُ أَقْصِرْ . فَوَجَدَهُ يَوْمًا عَلَى ذَنْبٍ فَقَالَ لَهُ أَقْصِرْ فَقَالَ خَلِّنِي وَرَبِّي أَبُعِثْتَ عَلَىَّ رَقِيبًا فَقَالَ وَاللَّهِ لاَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ أَوْ لاَ يُدْخِلُكَ اللَّهُ الْجَنَّةَ . فَقُبِضَ أَرْوَاحُهُمَا فَاجْتَمَعَا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِينَ فَقَالَ لِهَذَا الْمُجْتَهِدِ أَكُنْتَ بِي عَالِمًا أَوْ كُنْتَ عَلَى مَا فِي يَدِي قَادِرًا وَقَالَ لِلْمُذْنِبِ اذْهَبْ فَادْخُلِ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِي وَقَالَ لِلآخَرِ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى النَّارِ
(arti) “Di masa lalu dari Banî Isrô-îl ada dua orang laki-laki yang berteman. Salah seorang dari mereka suka berbuat dosa, sementara yang lain sangat giat dalam ber‘ibadah. Orang yang giat dalam ber‘ibadah itu ketika melihat saudaranya berbuat dosa, ia berkata: “Berhentilah!”. Lalu pada suatu hari ia kembali mendapati temannya itu berbuat dosa, ia berkata lagi: “Berhentilah!”, namun orang yang suka berbuat dosa itu berkata: “Biarkanlah aku bersama Robb-ku, apakah kamu diutus untuk selalu mengawasiku?”. Laki-laki ahli ‘ibadah itu lalu berkata: “Demi Allôh, sungguh Allôh takkan mengampunimu atau takkan memasukkanmu ke dalam Syurga!”, kemudian Allôh kemudian mewafatkan keduanya, hingga keduanya berkumpul di sisi Robb Semesta Alam. Allôh kemudian bertanya kepada si ahli ‘ibâdah: “Apakah kamu lebih tahu dari pada Aku? Atau apakah kamu mampu melakukan apa yang ada dalam kekuasaan-Ku?”, kemudian Allôh lalu berkata kepada si pelaku dosa: “Pergilah dan masuklah kamu ke dalam Syurga dengan rahmat-Ku!”, dan berkata kepada si ahli ‘ibâdah: “Pergilah kamu ke dalam Neraka!”” [HR Abû Dâwûd no 4901; Ahmad no 7942].
Bersambung….