15 Adab Buang Air Besar Sesuai Sunnah

 

15 Adab Buang Air Besar Sesuai Sunnah

Fatwapedia.com – Sahabat salman pernah ditanya: benarkah Nabimu telah ngengajarkan segala sesuatu hingga masalah buang hajat (etika dalam kamar mandi) maka beliau menjawab: betul, kami dilarang menghadap kiblat saat BAB atau BAK… (HR. Muslim) Bagi orang muslim yang hendak melakukan buang air besar atau buang air kecil hendaknya memperhatikan adab atau tata-tertib yang dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tiada membawa barang yang memuat nama Allah kecuali bila dikhawatirkan akan hilang atau tempat menyimpan barang berharga berdasarkan hadits Anas r.a:

Artinya: Bahwa Nabi saw. memakai cincin yang memuat ukiran Muhammad Rasulullah, dan jika ia masuk toilet maka ditanggalkannya. (Diriwayatkan oleh Yang Berempat).

Berkata Hafidh mengenai hadits ini bahwa ia ma‘lul artinya bercacad, sedang Abu Daud mengatakannya munkar. Bagian pertama dari hadits adalah shahih atau benar.

2. Menjauhkan dan menyembunyikan diri dari manusia terutama di waktu buang air besar, agar tidak kedengaran suara atau tercium bau, berdasarkan hadits Jabir r.a. katanya:

Artinya: Kami bepergian dengan Rasulullah saw. pada suatu perjalanan. Maka ia tidak buang air besar kecuali bila telah luput dari pandangan. (H.R. Ibnu Majah).

Dan menurut riwayat Abu Daud: Maka bila Ia bermaksud hendak buang air besar, ia pun pergi jauh-jauh hingga tidak kelihatan oleh seorang pun. Juga menurut riwayatnya: Bahwa Nabi saw. bila mencari tempat buang air, ia pergi jauh-jauh.

3. Membaca basmalah dan isti‘adzah secara deras (jahar) di waktu hendak masuk kakus, dan ketika hendak mengangkat kain bila di lapangan terbuka, berdasarkan hadits Anas r.a

Artinya : Bila Nabi saw. hendak masuk kakus, ia membaca: Bismillah, allaahumma innii a’udzu bika minalkhubutsi walkhabaaits.“ (Dengan nama Allah ya Allah, aku berlindung kepadaMu dan godaan setan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan). (Diriwayatkan oleh Jama‘ah).

4. Menghindarkan bicara sama sekali, baik berupa dzikir ataupun lainnya. Maka tidak perlu menyahuti ucapan salam atau adzan.

Dikecualikan bila amat perlu sekali, seperti memperingatkan orang buta yang dikhawatirkan akan jatuh. Jika sementara itu ia bersin, hendaklah memuji Allah dalam hati tanpa menggerakkan lidah, berdasarkan hadits lbnu Umar r.a

Artinya : Bahwa seorang laki-laki lewat pada Nabi saw. yang ketika itu sedang buang air kecil. Orang itu memberi salam kepadanya, tetapi tiada disahut oleh Nabi. (H.R. Jama‘ah kecuali Bukhari).

Dan hadits Abu Sa‘id r.a. katanya Artinya : Sabda Nabi saw.: Janganlah keluar dua orang laki-laki pergi ke kakus sambil membukakan aurat dan bercakap-cakap, karena Allah mengutuk demikian itu!“ (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Pada lahirnya hadits tersebut menyatakan diharamkannya berkata-kata, tetapi ijma‘ mengalihkan larangan dan haram kepada makruh.

5. Hendaklah menghargai kiblat, hingga ia tidak menghadap kepadanya atau membelakanginya. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah r.a

Artinya : Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bila salah seorang di antaramu duduk dengan maksud hendak buang hajat, janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya. (H.R. Ahmad dan Muslim).

Larangan tersebut diartikan sebagai makruh, berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a. katanya, Artinya: Pada suatu hari saya naik ke rumah Hafsah, maka tampak olehnya Nabi saw. sedang buang hajat sambil menghadap ke Syam dan membelakangi Kabah. (H.R. Jama‘ah).

Atau kedua keterangan tersebut dapat dihimpun atau dikompromikan dengan mengatakan bahwa larangan haram itu berlaku di padang terbuka, sedang dalam bangunan-bangunan dibolehkan 3)

Dan Marwan al-Ashghar katanya: Saya lihat Ibnu Umar menghentikan kendaraannya ke arah kiblat dan kencing menghadap itu. Maka kataku padanya: Hai Abu Abdurrahman! Bukankah itu terlarang? Memang, ujarnya, tetapi ini hanya dilarang di lapangan terbuka. Maka jika diantaramu dengan kiblat ada yang menghalang, tidak menjadi apa. (H.R. Abu Daud, Ibnu Khuzaimah dan Hakim. Isnadnya hasan sebagai tertera dalam Al-Fath).

6. Supaya mencari tempat yang lunak dan kerendahan untuk menjaga agar tidak kena najis, berdasarkan hadits Abu Musa r.a.:

Artinya: Rasulullah saw. pergi ke tempat yang rendah di sisi pagar, lalu buang air kecil. Dan sabdanya: Jika salah seorang kamu buang air kecil hendaklahi ia memilih tempat buat itu. (Riwayat Ahmad dan Abu Daud. Dan hadits ini, walau padanya ada orang yang tak dikenal, tetapi artinya shahih atau benar).

7. Agar menghindari lobang supaya tiada menyakiti hewan-hewan yang mungkin ada di sana, karena hadits Qatadah dari Abdullah bin Sarjis:

Artinya: Nabi saw. telah melarang kencing pada lobang. Tanya mereka pada Qatadah: Kenapa dilarang kencing di lobang? Jawabnya: Karena itu adalah tempat kediaman jin. (H.R. Ahmad, Nasa‘i, Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinyatakan shahih o/eh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Sakkin).

8. Hendaklah menjauhi tempat orang bernaung, jalanan dan tempat pertemuan mereka, karena hadits Abu Hurairah r.a:
 

Bahwa Nabi saw. bersabda: Hindarkanlah menjadi kutukan orang-orang Ujar mereka: Siapakah yang dimaksud dengan demikian, ya Rasulullah? Jawab Nabi: Ialah yang buang air di jalanan atau tempat bernaung manusia. (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).

9. Tiada buang air kecil di tempat mandi, begitu pun pada air tergenang atau air mengalir, karena hadits Abdullah ibnul Mughaffal r.a.:

Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda: Janganlah salah seorang kamu buang air kecil di tempat mandinya, kemudian ia benwudhuk di sana.

Karena pada umumnya waswas atau godaan itu berasal dan sana. (H.R. Yang Berlima, tetapi kalimat kemudian ía berwudhu’ di sana, hanya terdapat dalam riwayat Ahmad dan Abu Daud saja).

Dan dari Jabir r.a Artinya: Bahwa Nabi saw. melarang buang air kecil pada air yang tergenang. (HR. Ahmad, Muslim, Nasa‘i dan Ibnu Majah).

Juga daripadanya : Artinya: Bahwa Nabi saw. melarang buang air kecil pada air mengalir. Menurut buku Majmauz Zawaid, hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan para perawinya dapat dipercaya.

Seandainya di tempat mencuci dan seperti di riool, maka tidak dilarang buang air kecil di sana.

10. Tiada kencing sewaktu berdiri, karena bertentangan dengan kesopanan dan adat yang baik, juga untuk menghindarkan percikannya. Seandainya percikan itu dapat terpelihara maka tak ada halangannya.

Berkata Aisyah r.a.: Siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. kencing sambil berdiri, janganlah dipercaya Ia tak pernah kencing kecuali sambil duduk (H.R. Yang Berlima kecuali Abu Daud. Menunut Turmudzi hadits ini merupakan hadits terbaik dalam masalah ini dan paling shahih).

Ucapan Aisyah tersebut adalah berdasarkan apa yang diketahuinya, maka tidaklah bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Huzaifah r.a. Artinya: Bahwa Nabi saw. sampai kesebuah kaki bukit kepunyaan suatu kaum, lalu buang air kecil sambil
berdiri. Aku pun pergi menjauh, tapi Nabi mengatakan: Marilah ke sini! Maka akupun mendekat hingga berdiri dekat tumitnya, kulihat Nabi berwudhuk dan menyapu kedua sepatunya, (HR. Jama‘ah)

Berkata Nawawi: Kencing sambil duduk lebih saya sukai, tetapi jika sambil berdiri diperbolehkan, kedua-duanya sama-sama ada dasarnya dari Rasulullah saw.

11. Wajib menghilangkan najis yang terdapat pada kedua jalan, baik dengan batu atau apa yang menyamainya, berupa benda beku yang suci lagi dapat melenyapkan najis serta tidak dihormati, atau mencucinya dengan air saja, atau dengan keduanya.

Berdasarkan hadits Aisyah r.a: Artinya: Bahwa Nabi saw. bersabda: Bila salah seorang di antaramu pergi buang air, hendaklah istinja‘ (bersuci) dengan tiga buah batu, karena demikian itu cukuplah untuknya. (H.r. Ahmad, Nasa‘i, Abu Daud dan Daruquthni).

Dan dari Anas r.a : Artinya : Ketika Rasulullah saw. masuk kakus, maka aku bersama seorang anak yang sebaya denganku membawakan setimba kecil air dengan gayung, maka Ia pun bersuci dengan air. (Disepakati oleh Ahli-ahli hadits).

Dan dari lbnu Abbas r.a.: Artinya : Bahwa Nabi saw. lewat pada dua buah kubur, sabdanya: Kedua mereka sedang disiksa, dan disiksa itu bukanlah disebabkan pekerjaan berat. Salah seorang di antaranya ialah karena tak hendak bersuci dari kencingnya sedang yang lain ialah karena pergi mengadu domba. (H.R. Jama‘ah)

Juga dari Anas r.a. secara marfu‘: Artinya : Bersucilah dari kencing, karena pada umumnya semua siksa kubur berpangkal padanya.

12. Tidak bersuci dengan tangan kanan demi menjaga kebersihannya dari menyentuh kotoran. Dasarnya hadits Abdurrahman bin Zaid:

Artinya : Dikatakan orang pada Salman: Nabimu telah mengajarimu segala sesuatu sampai-sampai soal kotoran. Ujar Salman:Memang, kami dilarangnya menghadap kiblat di waktu buang air besar atau kencing, atau bersuci dengan tangan kanan 4), atau bersuci dengan batu yang banyaknya tidak cukup tiga buah, atau bersuci dengan barang najis atau tulang. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Turmudzi).

Dan dan Hafsah r.a. Artinya: Bahwa Nabi saw. selalu mempergunakan tangan kanannya buat makan, minum, berpakaian, memberi dan menerima, serta tangan kirinya buat yang selain itu. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, lbnu Hiban, Hakim dan Baihaqi).

13. Supaya menggosok tangan dengan tanah setelah bersuci, atau mencucinya dengan sabun dan yang sama dengan itu, agar hilang bau busuk yang melekat di sana, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya:

Artinya : Bila Nabi saw. pergi ke kakus, kubawakan padanya air dengan bejana yang terbuat dari tembaga atau kulit, maka ía pun bersuci lalu menyapukan kedua tangannya ke tanah. (HR. Abu Daud, Nasa‘i, Baihaqi dan Ibnu Majah).

14. Agar memerciki kemaluan dan celananya dengan air bila kencing, guna melenyapkan waswas dan dalam hati, hingga nanti bila kedapatan basah, maka ia akan mempunyai alasan bahwa itu adalah bekas percikan tadi. Hal ini berdasarkan hadits Hakam bin Sufyan atau Sufyan bin Hakam r.a.:

Artinya: Adalah Nabi saw. bila buang air kecil, ía berwudhuk dan melakukan percikan. Dan pada suatu riwayat: Saya lihat Rasulullah saw. buang air kecil, kemudian memerciki kemaluannya dengan air. Dan Ibnu Umar biasa menyiram kemaluannya hingga celananya jadi basah.

15. Mendahulukan kaki kiri sewaktu hendak masuk, kemudian bila keluar melangkah dengan kaki kanan, lalu hendaklah mengucapkan ghufranak, artinya aku mohon keampunanMu. Artinya : Bahwa Nabi saw. bila keluar dan kakus mengucapkan gufranak. (Diriwayatkan oleh Yang Berlima kecuali Nasa‘i).

Dan hadits Aisyah ini adalah hadits yang paling sah mengenai masalah ini, sebagai diakui oleh Abu Hatim.

Dan diriwayatkan dari pelbagai jalan yang dha‘if atau lemah, bahwa: Artinya : Bahwa Nabi saw. mengucapkan Alhamdulillahil ladzi adzhaba‘anni‘l-adza waafani (Segala puji bagi Allah yang telah melenyapkan daripadaku penyakit dan yang telah menyehatkan daku), begitu juga ucapannya“ AIhamdu lillahilladzi adzaqani adz-dzataliu wa ahqa fiyya quwwatahu wa adz-haba anni adzahu (Segala puji bagi Allah yang telah merasakan kepadaku kelezatannya, meninggalkan kepadaku kekuatannya dan melenyapkan dariku penyakitnya).

Catatan kaki;

1) Najis itu adakalanya riel atau dapat diraba seperti kencing dan darah, dan adakalanya pula menurut hukum seperti janabat.
2) Madzhab mereka ialah bahwa hukum benda cair sama halnya dengan hukum air yakni tidak bernajis kecuali bila ia berobah disebabkan najis itu. Jika tidak berobah, maka ia tetap suci, dan madzhab ini juga merupakan madzhab Ibnu Abbas, Ibnu Mas‘ud dan Bukhari dan inilah yang benar.
3) Cara ini lebih tepat dari yang sebelumnya.
4) Larangan ini berarti larangan demi pendidikan dan kesucian

Leave a Comment