Fatwapedia.com – Islam adalah agama suci dan menghendaki kesucian pada umatnya. Diantara perbuatan keji yang dilarang oleh islam adalah apa yang disebut onani. Lantas bagaimana cara berhenti dari ketagihan melakukan onani yang efektif? Simak penjelasannya disini.
Pertanyaan:
“Saya memiliki satu pertanyaan walaupun saya malu untuk mengungkapkannya akan tetapi karena disana ada saudari yang baru masuk Islam, dia ingin mengetahui jawaban. Sementara saya tidak bisa meenjawab dengan dalil dari Qur’an dan Hadits. Saya berharap anda dapat membantu kami. saya memohon kepada Allah untuk memaafkanku kalau sekiranya pertanyaannya tidak layak. Akan tetapi karena kita sebagai umat Islam tidak boleh malu dalam mencari ilmu. Pertanyaan saya adalah apakah onani di perbolehkan dalam Islam?
Teks Jawaban:
Alhamdulillah. Onani itu haram berdasarkan dalil Qur’an dan Hadits.
Pertama dalil dari: Al-Qur’an Al-Karim
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Imam Syafi’Idan orang yang sependapat dengan beliau telah berdalil akan pengharaman onani memakai tangan dengan ayat Firman Allah ini:
والذين هم لفروجهم حافظون . إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين . فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون ) 4-6 سورة المؤمنون
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun: 5-7)
Baca juga: Dalil Tegas Larangan Onani bagi Laki-laki
Imam Syafi’i dalam kitab Nikah mengatakan, “Penjelasan dengan menyebutkan menjaga kemaluanya kecuali kepada istri-istri atau budak yang mereka miliki. Menunjukkan pengharaman selain istri dan budak yang dimiliki. Kemudian dikuatkan dengan firman-Nya “Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” Tidak dihalalkan melakukan sesuatu di kemaluan kecuali istri atau budak yang dimiliki. Dan tidak dihalalkan beronani. Wallahua’lam. (Kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i)
Sebagian ahli ilmu berdalil dengan firman Allah Ta’ala:
( وَلْيَسْتَعْفِفْ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ) النور 33
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-nur: 33)
Printah menjaga diri, mengandung pengertian kesabaran terhadap selainnya.
Kedua: Sunnah Nabawiyah
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا لا نَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءةَ ( تكاليف الزواج والقدرة عليه ) فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ( حماية من الوقوع في الحرام ) رواه البخاري فتح رقم 5066
“Kita para pemuda bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak mendapatkan sesuatu. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengatakan kepada kita, “Wahai para pemuda siapa yang mampu ba’ah (biaya pernikahan dan kemampuan akan hal itu) maka hendaknya dia menikah. Karena ha itu dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa karena hal itu menjadi tameng (tameng terjatuh dari yang diharamkan).” (HR. Bukhori, Fathul Bari no. 5066)
Syareat memberi arahan ketika tidak mampu menikah agar berpuasa meskipun dengan kesulitannya. Tanpa mengarahkan ke onani padahal pendorong yang kuat ke arah itu dan ia lebih mudah dibandingkan berpuasa. Meskipun begitu tidak diizinkan.
Dalam permasalahan ini ada dalil yang lainnya. Kita cukupkan disini saja. Wallahu a’lam.
Sementara solusi bagi orang yang terjerumus ke hal itu. Berikut ini beberapa nasehat dan langkah-langkah agar terlepas darinya:
1. Seharusnya orang yang ingin terlepas dari kebiasaan ini menunaikan perintah Allah dan menjauhi kemurkaan-Nya.
2. Mencegah hal itu dari akar kebaikan yaitu menikah sebagai realisasi dari wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam kepada para pemuda akan hal itu
3. Menolak lintasan pikiran, was was dan menyibukkan diri dan pikiran untuk kebaikan agama dan akhirat anda. Karena mengikuti was was menjurus ke perbuatan kemudian semakin kuat sehingga menjadi kebiasaan dan akan kesulitan terlepas darinya.
4. Menahan pandangan. Karena melihat ke seseorang dan gambar fitnah baik hidup itu maupun foto. Membiarkan pandangan mengarah kepada yang diharamkan. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya.” QS. An-Nur: 30. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jangan mengikuti satu pandangan dengan pandangan lainnya.” (HR. Tirmizi, 2777) dinyatakan hasan dalam shoheh Jami;, 7953. Kalau pandangan pertama itu pendangan tiba-tiba. Tidak ada dosa di dalamnya. Maka pandangan kedua itu diharamkan. Begitu juga hendaknya menjauhi tempat-tempat yang di dalamnya ada godaan dan menggerakkan nafsu syahwat yang di dalam.
5. Sibuk dengan berbagai macam ibadah. Dan jangan meninggalkan waktu kosong untuk bermaksiat.
6. Mengambil pelajaran hasil dari kebiasaan itu berakibat negatif dari sisi kesehatan. Seperti melemahkan pandangan dan otot, lemah anggota kemaluan dan sakit pinggang serta sisi negatif lainnya yang disebutkan oleh pakar kedokteran. Begitu juga sisi negatif kejiwaan seperti gundah, penyesalan dalam diri. Yang lebih besar dari itu semua adalah terganggu shalatnya karena seringkali mandi atau kesulitannya terutama waktu musim dingin begitu juga akan membatalkan puasanya
7. Menghilangkan qanaah yang salah. Karena sebagian para pemuda berkeyakinan bahwa perbuatan ini diperbolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina dan liwath (homoseksual). Padahal bisa jadi tidak dekat sama sekali dengan kejelekan itu.
8. Bersenjata dengan kekuatan kemauan dan keinginan agar seseorang tidak menyerah kepada syetan. Menjauhi kesendirian seperti bermalam sendirian. Telah ada hadits bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang bermalam sendirian. Diriwayatkan Imam Ahmad ia ada di Shoheh Jami’, 6919.
9. Mengambil pengobatan Nabi yang manjur yaitu berpuasa. Karena hal itu dapat menghancurkan kekuatan syahwat dan mendidik libido sex. Hati-hati dari tanda-tanda asing seperti bersumpah atau nazar tidak akan mengulangi. Karena kalau dia mengulangi setelah itu, termasuk melanggar sumpah setelah dikuatkan. Bagitu juga jangan mempegunakan obat-obatan pereda syahwat. Karena di dalamnya ada bahaya kesehatan dan badan. Telah ada dalam sunah menjelaskan keharaman mengkonsumsi untuk memutus semua syahwat.
10. Komitmen dengan adab syar’iyyah ketika tidur seperti membaca zikir yang ada. Tidur pada posisi sebelah kanan menjauhi telengkap (tidur diatas perut) karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang hal itu.
11. Sabar dan iffah karena kita harus bersabar dari sesuatu yang diharamkan meskipun jiwa menginginkannya. Perlu diketahui, bahwa membawa jiwa pada iffah akan menjadikan di akhirnya mempunyai akhlak yang terus menerus pada diri seseorang. Hal itu seperti sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ . ” رواه البخاري فتح رقم 1469 .
“Siapa yang meminta iffah, maka Allah akan berikan iffah kepadanya. Siapa yang merasa kaya, maka Allah kayakan dia. Dan siapa yang mencoba bersabar, maka Allah akan berikan kesabaran atasnya. Tidak ada pemberian kepada seseorang yang lebih baik dan luas dibandingkan dengan kesabaran. (HR. Bukhori Fath, no. 1469)
12.Kalau seseorang terjerumus dalam kemaksiatan ini. Maka hendaknya dia bersegera untuk bertaubat dan beristigfar. Melakukan ketaatan tanpa berputus asa karena hal itu termasuk dosa besar.
13. Terakhir kali, yang tidak diragukan lagi. Kembali dan tadaru’ kepada Allah dengan doa dan meminta pertolongan dari-Nya agar dapat terbebaskan dari kebiasaan ini. Itu termasuk obat terbaik karena Allah akan mengbulkan doa orang yang berdoa ketika dia berdoa. Wallahu a’lam.
Refrensi: Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid