Fatwapedia.com – Khawarij lahir dari ketidaksetujuan sebagian kelompok Ali bin Abi Thalib RA atas kebijakan Tahkim (arbitrase) menyusul Perang Shiffin (657). Mereka memisahkan diri (khariji) dan menuduh khalifah telah berbuat syirik menerima pengadilan yang bertentangan dengan hukum Al Qur’an.
Khawarij bersumpah memerangi Imam Ali hingga bertaubat. Khalifah Ali bin Abi Thalib pada akhirnya memerangi Khawarij karena telah menumpahkan darah kaum Muslimin, membunuh sahabat Nabi, Abdullah Khubbab bin Arat dan isterinya.
Khawarij juga bertekad membunuh Ali, Muawiyyah dan Amr bin Ash serta menyalahkan mereka atas kondisi kaum Muslimin. Mereka berhasil membunuh Ali pada 20 Ramadhan 661, namun gagal membunuh Muawiyyah dan Amr bin Ash.
Khawarij secara performan adalah kaum yang taat dan wara dalam agama, namun mudah menghalalkan darah kaum Muslimin. Keyakinannya terhadap kebenaran telah meremehkan orang lain dan menjerumuskan dirinya kepada kehancuran.
Untuk menegakkan keyakinannya, mereka melakukan teror, membunuh pria, wanita dan anak-anak tanpa pandang bulu. Khawarij menjadi musuh yang mematikan bagi siapa saja yang tidak sependapat dengan mereka.
Sebagai gerakan politik, Khawarij hanya bertahan 5 abad. Ibnu Batuthah (1330-1334) mengaitkan eksistensinya dengan kelompok Ibadi yang mendiami Afrika Utara. Namun problemnya, eksistensi pemikiran Khawarij bertahan hingga kini dan tanpa sadar merasuki banyak pemikiran individu dan organisasi.
Benih Khawarijisme telah ada sejak zaman Nabi SAW lewat sosok Dzul Khuwaishirah, seorang Badui Bani Tamim yang secara lancang memperingatkan Nabi untuk berbuat adil. Ini menjelaskan eksistensi mereka akan ada sepanjang zaman.
Mereka hadir di tengah individu atau kelompok masyarakat yang mengisolasi diri dan membatasi diri dari kebenaran.
Khawarij memang dicela secara organisasi dan pemikiran, namun tabiat dan tindak tanduknya yang kasar, mudah memvonis sesat sesama Muslim, memberikan label buruk kepada orang yang tidak sependapat dengan mereka dan tidak adanya toleransi dalam ijtihaj masih diadopsi hingga kini.
Sebagian individu atau organisasi Islam tidak hadir sebagai faktor pemersatu, namun menjadi paradoks dan antigonisme bagi individu atau organisasi lain.
Mereka menganggap sikapnya merefleksikan konsistensi pada prinsip agama dan secara naif membenarkan sikap dan cara pandangnya yang keras kepala, sekalipun pelbagai kritik mengalir menjelaskan kelemahan dalil dan logikanya.
Khawarij memang telah mati secara organisasi, namun sebagian kita telah menghidupkan jejaknya karena rendahnya pengetahuan dan kedewasaan kita.
Mengapa kita tidak belajar rendah hati dan berlemah lembut untuk dua hal:
Pertama, ketidaktahuan saya tentang diri anda, sudah cukup menjadi alasan bagi saya untuk memaafkan anda.
Kedua, jika anda saudara saya, maka saya memiliki kewajiban moral untuk mencari seribu interpretasi ‘kebaikan’ yang sekiranya dapat membebaskan anda dari kesalahan.
Meski demikian, Khawarij adalah satu-satunya kelompok di awal kemunculannya yang memiliki pandangan ‘demokratis’ bahwa posisi kepemimpinan (Khalifah) dalam Islam terbuka bagi setiap Muslim, baik Arab maupun Non Arab, dan bukan hak istimewa Umayyah maupun Hasyimiyyah.
Penulis: Ahmad Dzakirin