Sebab-sebab Terjadi Khilafiyah Di Kalangan Ulama (Bag. 3)

Sebab-sebab Terjadi Khilafiyah Di Kalangan Ulama (Bag. 3)

Fatwapedia.com – Artikel ini merupakan tulisan terakhir dalam membahas tentang Sebab-sebab Terjadinya Perselisihan Di Kalangan Ulama. Semoga rangkaian penjelasan dalam masalah ini bisa di fahami dan membuahkan sikap ilmiah dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan.

Sebab Kelima:

Sebuah hadits sampai kepada seorang ulama, akan tetapi hadits itu Mansukh (telah dihapus hukumnya), sedangkan ulama tersebut tidak mengetahui dalil Nasikh (yang menghapusnya). Maka ulama yang tidak mengetahui naskh (penghapusannya); dia mendapat udzur, karena asal (dari dalil) adalah: tidak adanya naskh (penghapusan), sampai diketahui adanya Nasikh (dalil yang menghapus hukumnya).

Di antaranya adalah pendapat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu: Apa yang dilakukakn seorang (yang Shalat) terhadap tangannya ketika dia ruku’? Pada awal Islam disyari’atkan bagi orang yang Shalat untuk melakukan Thatbiiq; yaitu: dengan meletakkan kedua tangannya di antara dua lututnya. Inilah yang disyari’atkan pada awal Islam, akan tetapi kemudian yang disyari’atkan adalah meletakkan kedua tangan pada kedua lutut.

Dan telah tetap dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya tentang Naskh (penghapusan Tathbiiq), tetapi Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu tidak mengetahui tentang Naskh ini; maka beliau terus melakukan Tathbiiq dengan kedua tangannya. Dan pernah ‘Alqamah dan Al-Aswad Shalat di sampingnya, maka keduanya meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya, akan tetapi beliau (Ibnu Mas’ud) radhiyallaahu ‘anhu melarang keduanya dari hal tersebut dan memerintahkan keduanya untuk melakukan Tathbiiq…Kenapa? Karena beliau tidak mengetahui Naskh. Dan seseorang tidaklah dibebani melainkan sesuai dengan kesanggupan dirinya. Allah Ta’aalaa berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”” (QS. Al-Baqarah: 286)

Sebab Keenam:

Meyakini bahwa dalil tersebut ditentang oleh yang lebih kuat, berupa dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau sebuah ijma’ (kesepakatan para ulama). Dengan kata lain: sebuah dalil sampai kepada seorang (ulama) yang berdalil, akan tetapi dia berpendapat bahwa dalil tersebut ditentang oleh yang lebih kuat berupa dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau sebua ijma’ (kesepakatan para ulama). Dan ini banyak terjadi pada perselisihan para imam.

Akan tetapi sering sekali kita mendengar ada orang yang menukil ijma’, padahal ketika diperhatikan ternyata bukan ijma’. Dan termasuk ijma’ paling aneh yang pernah kami dengar adalah: bahwa sebagian orang berkata: “Mereka (para ulama) sepakat untuk menerima persaksian budak.” Dan yang lainnya berkata: “Mereka (para ulama) sepakat untuk tidak menerima persaksian budak.” Maka ini suatu keanehan dalam penukilan.

Hal ini disebabkan sebagian orang yang jika orang- orang di sekitarnya bersepakat atas satu pendapat; maka dia menyangka bahwa tidak ada yang menyelisihi orang-orang (di sekitarnya) tersebut, dan dia meyakini bahwa (pendapat) tersebut adalah tuntutan dari dalil-dalil, sehingga terkumpul padanya dua dalil: Nash dan ijma’. Dan mungkin juga dia berpendapat bahwa itu adalah tuntutan qiyas yang shahih dan penelitian yang shahih; sehingga dia menghukumi bahwa tidak ada perselisihan lagi, dan tidak ada yang menyeslisihi dalil yang ada padanya, disertai dengan qiyas shahih. Padahal perkara sebenarnya adalah kebalikannya.

Dan mungkin bisa kita contohkan dengan pendapat Ibnu ‘Abbas tentang Riba Fadhl.

Telah tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Riba itu hanya Nasii-ah.”

Dan telah tetap sabda beliau -dari hadits ‘Ubadah bin Shamit dan lainnya-: “Bahwa Riba adalah dalam Nasii-ah dan dalam tambahan (Fadhl).”

Para ulama setelah Ibnu ‘Abbas sepakat bahwa Riba ada dua: Riba Fadhl dan Riba Nasii-ah. Adapun Ibnu ‘Abbas; maka beliau berpendapat bahwa Riba hanya Nasii-ah saja.

Contohnya: Jika saya menjual satu mitsqaal emas dengan harga dua mitsqaal emas, secara kontan; maka menurut Ibnu ‘Abbas ini bukanlah Riba. Akan tetapi jika saya akhirkan qabdh (penerimaan); dimana engkau memberikan kepadaku satu mitsqaal sedangkan saya belum memberikan gantinya (bayarannya) kecuali setelah (kita berdua) berpisah; maka ini yang disebut Riba. Karena Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berpendapat bahwa pembatasan (dalam hadits di atas dengan Riba Nasii- ah) adalah menghalangi untuk terjadinya Riba pada bentuk yang lainnya (Riba Fadhl). Dan telah diketahui bahwa انما (hanya) memberi faedah pembatasan, maka menunjukkan bahwa yang selainnya bukanlah Riba.

Akan tetapi pada hakikatnya apa yang ditunjukkan oleh hadits ‘Ubadah: menunjukkan bahwa Fadhl termasuk Riba; berdasarkan sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menambah atau minta tambah; maka dia telah berbuat Riba.”

Maka, bagaimana sikap kita terhadap hadits yang dijadikan dalil oleh Ibnu ‘Abbas? Sikap kita adalah: kita bawa hadits tersebut pada segi yang memungkinkan untuk digabungkan dengan hadits lain yang menunjukkan bahwa: Riba terkadang juga ada pada Fadhl; maka kita katakan: Riba yang keras yang dijadikan sandaran oleh orang-orang Jahiliyyah dan yang disebutkan pada firman Alah Ta’aalaa:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…” (QS. Ali ‘Imran: 130)

Riba (yang berat) ini adalah Riba Nasii-ah. Adapun Riba Fadhl; maka bukan Riba yang keras dan besar. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim berpendapat dalam “I’laamul Muwaqqi’iin”: bahwa keharaman Riba Fadhl adalah pengharaman wasaa-il (perantara), dan bukan pengharaman yang maqaashid (tujuan).

Sebab Ketujuh:

Seorang ulama mengambil hadits dha’if atau berdalil dengan cara pendalilan yang lemah. Dan ini banyak terjadi. Di antara contoh berdalil dengan hadits dha’if adalah:

Pendapat sebagian ulama tentang disukainya Shalat Tasbih, yaitu seorang Shalat dua raka’at, dia membaca Al-Fatihah pada dua raka’at tersebut, bertasbih lima belas kali, demikian juga dalam ruku’ dan sujud, dan seterusnya dari tata caranya yang saya tidak menghafalnya; karena saya tidak meyakini disyari’atkannya.

Dan (ulama) yang lainnya berpendapat bahwa Shalat Tasbih adalah bid’ah yang dibenci, dan bahwa haditsnya tidak shahih. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Ahmad rahimahullaah, dan beliau berkata: “Tidak sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata: “Haditsnya dusta atas nama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”

Pada hakikatnya, barangsiapa yang memperhati- kannya; maka akan dia dapati adanya kejanggalan dinisbatkan kepada syari’at. Karena ibadah itu: bermanfaat bagi hati, dan bagus untuk hati; sehingga disyari’atkan di setiap waktu dan setiap tempat. Atau ibadah tersebut tidak bermafaat sehingga tidak disyari’atkan. Sedangkan hadits (Shalat Tasbih) ini menyebutkan bahwa seseorang bisa melaksanakannya setiap hari, atau setiap pekan, atau setiap bulan, atau seumur hidup.

Dan ini tidak ada yang sama dengannya dalam syari’at; maka ini menunjukkan atas kejanggalannya secara sanad maupun matan. Dan ulama yang mengatakan bahwa hadits ini dalah dusta – seperti Syaikhul Islam-; maka itulah yang benar, oleh karena itulah Syaikhul Islam berkata: “Tidak ada seorang imam pun yang menganggapnya mustahab (disunnahkan).”

Saya contohkan dengan ini karena banyak pertanyaan yang datang dari laki-laki maupun perempuan, maka saya kuatir kalau hal yang bid’ah ini dianggap hal yang disyari’atkan. Dan saya katakan bahwa ini adalah bid’ah -walaupun mungkin berat atas sebagian manusia-: karena kami meyakini bahwa setiap orang yang beribadah kepada Allah Subhaanahu dengan sesuatu yang tidak dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; maka itu adalah bid’ah.

Demikian juga seorang yang mengambil dalil yang lemah dari segi pendalilan. Jadi, dalilnya adalah kuat, tetapi pendalilannya (cara berdalilnya) yang lemah. Seperti sebagian ulama yang mengambil hadits: “Penyembelihan terhadap janin binatang (yang ada di perut induknya) adalah dengan menyembelih induknya.”

Maka yang dikenal menurut para ulama dari makna hadits tersebut adalah: bahwa jika induk janin tersebut disembelih; maka penyembelihannya sebagai penyem- belihan juga untuk janin, yakni: tidak butuh kepada penyembelihan ketika janin itu dikeluarkan setelah induknya disembelih. Karena ketika dikeluarkan (janin itu) sudah mati, maka tidak ada faedahnya dari penyembelihannya setelah matinya.

Dan di antara ulama ada yang memahami bahwa yang dimaksud dari hadits adalah: sesungguhnya penyembelihan terhadap janin adalah seperti penyembelihan terhadap induknya; yaitu: dengan memotong dua urat leher dan mengalirkan darahnya. Akan tetapi ini (pemahaman) yang jauh (dari kebenaran). Dan yang menunjukkan kejauhannya adalah bahwa: darah tidak akan teralirkan ketika binatang sudah mati. Sedangkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Alat yang bisa mengalirkan darah, dan disebutkan nama Allah atasnya; maka makanlah.”

Dan telah diketahui bahwa tidak mungkin mengalirkan darah setelah matinya.

Inilah sebab-sebab yang ingin saya ingatkan walaupun sebab-sebabnya adalah banyak, ibarat lautan yang tidak bertepi. Akan tetapi -setelah ini-: maka apa bagaimana kita menyikapinya?

Dan apa yang saya katakan pada awal pembahasan bahwa: manusia dengan sebab banyaknya alat-alat pemberitahuan (media) yang didengar, dibaca, dan ditonton, serta perselisihan para ulama atau perselisihan manusia (secara umum) di media-media ini; maka orang-orang menjadi ragu dan mengatakan: “Siapa yang akan kita ikuti?” Banyak kijang menghampiri Khirasy Sehingga Khirasy bingung mana yang akan dia buru Maka kita katakan: Sikap kita terhadap perselisihan ini; yakni: perselisihan para ulama yang kita mengetahui bahwa mereka terpercaya secara ilmu dan agama, bukan orang-orang yang dianggap berilmu akan tetapi ternyata mereka bukan ahli ilmu, karena orang-orang semacam ini tidak kita anggap sebagai ulama, dan kita tidak mengindahkan pendapat-pendapat mereka. Lain halnya dengan pendapat-pendapat yang terjaga (dalam kitab-kitab) dari ahli ilmu (yang sebenarnya).

Jadi yang kita maksudkan (dengan ulama) adalah para ulama yang sudah dikenal tentang nasehat mereka terhadap umat, Islam, serta ilmu. Maka sikap kita terhadap mereka dilihat dari dua segi:

1. Bagaimana mungkin para imam tersebut menyelisihi tuntutan dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya? Maka ini bisa dijawab dengan sebab-sebab perselisihan yang telah kita sebutkan, dan (sebab- sebab) itu sangatlah banyak dan akan tampak bagi penuntut ilmu walaupun dia belum mendalam ilmunya.

2. Bagaimana sikap kita dalam mengikuti mereka? Siapa di antara para ulama tersebut yang akan kita ikuti? (1)Apakah seseorang mengikuti seorang imam tertentu sehingga tidak keluar dari pendapat- pendapatnya sama sekali walaupun kebenaran ada pada imam yang lain -sebagaimana ini adalah kebiasaan orang-orang yang fanatik madzhab-? (2)Ataukah seseorang mengikuti yang menurutnya kuat berdasarkan dalil walaupun menyelisihi pendapat imam yang dia menisbatkan (madzhabnya) kepada imam tersebut? Jawabannya adalah yang kedua.

Maka kewajiban seorang yang mengetahui dalil adalah: mengikuti dalil tersebut walaupun menyelisihi imam, selama tidak menyelisihi ijma’ (kesepakatan) umat. Barangsiapa meyakini bahwa selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada orang yang wajib diambil perkataannya dalam perintah atau larangannya, pada setiap keadaan dan pada setiap zaman; maka dia telah mempersaksikan bahwa selain Rasul memiliki kekhususan Risalah (kerasulan). Karena tidak mungkin ada orang yang disikapi demikian kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada seorang pun melainkan perkataannya bisa diambil dan bisa ditinggalkan kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Akan tetapi ada permasalahan yang masih perlu dibahas lagi, karena kita akan terus berada pada pembahasan: siapa yang mampu untuk mengambil hukum-hukum secara langsung dari dalil-dalilnya? Inilah yang menjadi permasalahan. Karena masing- masing orang akan mengatakan: “Saya mampu.” Dan ini pada hakikatnya adalah bukan hal yang baik. Memang secara tujuan dan hukum asalnya: hal itu adalah baik; dimana yang menuntun seseorang adalah Kitabullaah dan Sunnah Rasul-Nya. Akan tetapi kalau kita membuka pintu ini untuk setiap orang yang mampu mengucapkan dalil -walaupun tidak mengetahui makna dan kandungannya-, kemudian kita katakan: “Anda adalah mujtahid; maka lakukanlah semau anda.” Maka dengan ini akan terjadi kerusakan syari’at, kerusakan makhluk, dan masyarakat.

Maka (yang benar bahwa) manusia dalam masalah ini adalah terbagi menjadi 3 (tiga) macam:

1. Orang berilmu yang Allah berikan kepadanya ilmu dan pemahaman.

2. Penuntut ilmu yang memiliki ilmu, akan tetapi tidak mencapai derajat orang (pertama) yang luas keilmuannya.

3. Orang awam yang tidak tahu apa-apa. Adapun untuk golongan Pertama: Maka dia berhak unutk berijtihad dan berpendapat, bahkan wajib atasnya untuk menyampaikan pendapat yang menjadi tuntutan dari dalil menurut dia, walaupun dia harus menyelisihi ulama lain; siapa pun ulama tersebut, karena dia diperintahkan untuk itu. Allah Ta’aalaa berfirman:

“…tentulah orang-orang yang beristinbaath (akan dapat) mengetahuinya dari mereka…” (QS. An- Nisaa’: 83)

(Golongan yang pertama) ini adalah termasuk Ahli Istinbaath (mengambil hukum) yang bisa mengetahui apa yang ditunjukkan oleh Kalamullah dan sabda Rasul-Nya.

Kedua:

Orang yang Allah beri rizki dengan ilmu, akan tetapi dia tidak sampai kepada derajat golongan yang pertama. Maka tidak mengapa baginya untuk mengambil dalil-dalil yang umum dan muthlaq yang sampai kepadanya. Akan tetapi dia wajib untuk berhati-hati dalam hal itu, dan jangan sampai kurang dalam bertanya kepada ahli ilmu yang lebih tinggi darinya. Karena bisa jadi dia salah, dan ilmunya tidak mencapai kepada suatu (dalil) yang: mengkhususkan (dalil) yang umum, atau: mengikat (dalil) yang muthlaq, atau: menghapus hukum dari (dalil) yang dia anggap Muhkam, sedangkan dia tidak mengetahuinya.

Ketiga:

Yaitu: orang yang tidak memiliki ilmu sama sekali. Maka kewajibannya adalah bertanya kepada Ahli Ilmu, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’aalaa:

“…maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiyaa’: 7)

Dan dalam ayat yang lain: “…maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. Dengan keterangan- keterangan dan kitab-kitab…” (QS. An-Nahl: 43-44)

Maka tugas orang semacam ini adalah bertanya. Akan tetapi kepada siapa dia bertanya? Di negeri ada banyak ulama, dan masing-masing orang mengatakan bahwa dirinya adalah ulama, atau setiap orang dikatakan bahwa dia adalah ulama. Maka kepada siapa akan bertanya?

Apakah kita katakan: “Wajib atasmu untuk menyeleksi ulama yang lebih mendekati kebenaran, kemudian engkau tanya dan engkau ambil pendapatnya.”

Ataukah kita katakan: “Tanyalah ulama mana saja yang engkau mau, karena terkadang ulama yang kurang utama bisa benar dalam masalah tertentu, sedangkan yang lebih utama tidak benar (pendapatnya).”

Para ulama berselisih dalam hal ini:

1. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa: wajib atas orang awam untuk bertanya kepada ulama yang dia lihat paling terpercaya dalam ilmunya di antara para ulama di negerinya. Karena ibarat orang yang terkena penyakit di badannya; maka tentunya dia akan mencari dokter yang paling kuat ilmu kedokterannya, demikian juga di sini (dalam masalah agama): ilmu adalah obat hati. Sebagaimana dalam masalah penyakit engkau mencari dokter yang paling kuat (ilmunya); maka demikian juga di sini (dalam masalah agama); engkau mencari ulama yang paling kuat ilmunya, karrena tidak ada bedanya (antara keduanya).

2. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa hal itu (mencari yang paling kuat ilmunya) tidaklah wajib. Karena yang paling kuat ilmunya belum tentu lebih berilmu dalam masalah tersebut. Dan di antara yang menunjukkan kuatnya pendapat ini adalah: bahwa manusia pada zaman Shahabat radhiyallaahu ‘anhum mereka bertanya kepada (Shahabat) yang kurang utama, padahal ada yang lebih utama.

Dan pendapat saya dalam masalah ini adalah: hendaknya (orang awam) bertanya kepada ulama yang lebih utama dalam ilmu dan agamanya; akan tetapi hal ini tidak wajib. Karena ulama yang lebih utama terkadang salah sedangkan yang kurang utama justru benar. Jadi (mencari ulama yang lebih utama) inilah yang lebih utama untuk dilakukan. Dan pendapat yang paling kuat: hendaknya bertanya kepada ulama yang lebih mendekati kebenaran; dikarenakan keilmuan, wara’, dan agamanya.

Terakhir, saya nasehatkan kepada diri saya sendiri dan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin; terutama para penuntut ilmu:

Jika ada suatu permasalahan -yang berkaitan dengan ilmu- menimpa seseorang; maka janganlah terburu-buru dan jangan tergesa-gesa. Hendaklah meneliti, mengetahui, baru kemudian berpendapat, agar nantinya tidak berkata atas Allah tanpa ilmu.

Karena seorang yang menjadi Mufti merupakan perantara antara manusia dengan Allah dalam menyampaikan syari’at Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Para ulama adalah pewaris para nabi.”

Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa para Qadhi itu ada tiga golongan, dan hanya satu golongan yang di Surga; yaitu: yang mengetahui kebenaran dan menghukumi dengannya.

Demikian juga termasuk hal yang penting adalah: jika suatu permasalahan (tentang ilmu) menimpamu; maka ikatlah hatimu kepada Allah, dan engkau minta agar Allah memberikanmu pemahaman dan ilmu, terutama dalam perkara-perkara besar yang samar (kebenarannya) atas banyak manusia.

Sebagian guru kami menyebutkan kepadaku bahwa: hendaknya bagi seorang yang ditanya tentang suatu masalah; maka dia memperbanyak istighfar, dalilnya adalah firman Allah Ta’aalaa:

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al- Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah negkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 105-106)

Karena memperbanyak istighfar bisa menghilang- kan pengaruh dosa yang merupakan sebab bagi terlupanya ilmu, dan sebab bagi kebodohan, sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya; maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka…” (QS. Al-Maa-idah: 13)

Dan telah disebutkan dari Imam As-Syafi’i bahwa beliau berkata:

Saya mengeluhkan buruknya hafalanku kepada Waqi’ Maka beliau mengarahkanku untuk meninggalkan kemaksiatan Beliau berkata: Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.

Maka dapat disimpulkan bahwa: istighfar tentu menjadi sebab agar Allah membukakan (ilmu) untuk seseorang (yang beristighfar).

Saya minta kepada Allah: taufiq dan kelurusan, dan agar Dia meneguhkan kami dengan perkataan yang kokoh di dunia dan di akhirat, dan agar Dia tidak menyesatkan kita setelah menunjukki kita, dan agar Dia menganugerahkan rahmat dari-Nya, sesungguhnya Dia adalah Maha Pemberi.

Leave a Comment