Oleh: Farid Nu’man Hasan
Fatwapedia.com – Untuk talqin sebelum wafat, tidak ada perselisihan bahwa hal itu dianjurkan agar akhir kalamnya adalah laa ilaha illallah. Makna “mautaakum” menurutnya umumnha ulama adalah ofang yang sedang menghadapi kematian di antara kamu. Istilah lainnya sakaratul maut.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لقنوا موتاكم لا اله الا الله
Talqinkan “mautaakum” dengan Laa Ilaha Illallah. (Hr. Muslim No. 916, dari Abu Sa’id Al Khudri)
Bagaimana dengan talqin bagi yang sudah dimakamkan? Jenis ini terjadi perselisihan para ulama, antara yang membolehkan (bahkan menganjurkan) dan melarangnya.
Kenyataan ini barangkali menjadi sesuatu yang mengagetkan bagi pihak yang terlanjur menyebut bid’ah hal tersebut. Dikiranya semua ulama melarang, padahal para ulama berbeda pendapat dengan hujjahnya masing-masing.
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menerangkan:
واستدل الشافعي بظاهر الحديث على أن التلقين بعد الدفن، وأصحابنا أولوه بمعنى: لقنوا من قرب إلى الموت لا إله إلا الله، لأن تلقين الميت لا يفيد
Imam Asy Syafi’i berdalil dengan zahirnya hadits, bahwa talqin dilakukan setelah penguburan, sementara sahabat-sahabat kami mentakwil dengan makna: talqinkanlah oleh kalian orang yang mendekati kematian dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, karena talqin buat mayit tidak bermanfaat. (Syarh Sunan Abi Daud, 6/36)
Imam Al Munawi Rahimahullah juga menjelaskan:
أما التلقين بعد الموت وهو في القبر فقيل يفعل لغير نبي وعليه أصحابنا الشافعية ونسب إلى أهل السنة والجماعة وقيل لا يلقن وعليه أبو حنيفة تمسكا بأن السعيد لا يحتاج إليه والشقي لا ينفعه
Ada pun talqin setelah kematian, yaitu di kubur, dikatakan bahwa hal itu dilakukan untuk mayit selain Nabi ﷺ, itulah pendapat sahabat-sahabat kami Syafi’iyah, dan menyandarkan hal itu sebagai pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dikatakan, bahwa tidak ada talqin untuk yang sudah di kubur, inilah pendapat Abu Hanifah berdasarkan bahwa jika mayit ini bahagia maka dia tidak membutuhkannya, jika dia sengsara maka itu pun tidak bermanfaat baginya. (Faidhul Qadir, 5/281)
Nah, perbedaan ini sebagaimana yang Anda lihat dari uraian Imam Al ‘Aini dan Imam Al Munawi –sebagaimana perselisihan fiqih lainnya- tidak boleh membuat kaum muslimin saling bermusuhan dan mengecam satu sama lain. Sebab perselisihan ini sudah ada sejak lama, dan masing-masing pihak punya dasar, bahkan haditsnya sama, tapi beda dalam memahaminya.
Pihak Yang Melarang
Bagi golongan ini, mentalqinkan mayit setelah di kubur tidak memiliki dasar dalam agama, baik Al Quran dan As Sunnah, dan perilaku para salaf. Hukumnya sama saja dengan membaca Al Quran di kubur, di mana Imam Malik dan Imam Abu Hanifah memakruhkannya. Bagi mereka talqin yang benar adalah sebelum wafatnya, yaitu dengan mengajarkan kalimat Laa Ilaha Illallahu agar akhir hayatnya dia mengucapkannya.
Berikut ini para ulama yang tidak menyetujui talqin setelah di kubur.
Imam Abul Hasan As Sindi mengatakan:
لقنوا مَوْتَاكُم المُرَاد من حَضَره الْمَوْت لَا من مَاتَ والتلقين أَن يذكر عِنْده لَا أَن يَأْمُرهُ بِهِ والتلقين بعد الْمَوْت قد جزم كثير أَنه حَادث وَالْمَقْصُود من هَذَا التَّلْقِين أَن يكون آخر كَلَامه لَا إِلَه إِلَّا الله وَلذَلِك إِذا قَالَ مرّة فَلَا يُعَاد عَلَيْهِ الا ان تكلم بِكَلَام آخر قَوْله
Talqinkan “mautaakum” maksudnya orang yang sedang menghadapi kematian bukan orang yang sudah mati, dan talqin itu adalah untuk mengingatkannya bukan memerintahkannya. Dan, talqin setelah kematian adalah sesuatu yang telah banyak terjadi, padahal maksud talqin ini adalah agar akhir dari ucapannya adalah laa ilaha illallah, oleh karena itu jika dia sudah ucapkan sekali maka jangan diulangi lagi kecuali jika dia mengucapkan kalimat lainnya lagi. (Hasyiah As Sindi ‘Ala Sunan An Nasa’i, 4/5)
Imam Abul Hasan Al Mubarkafuri mengatakan:
وفي الحديث دليل على مشروعية الاستغفار للميت عند الفراغ من دفنه، وسؤال التثبيت له، وأن دعاء الأحياء ينفع الأموات، وليس فيه دلالة على التلقين عند الدفن كما هو المعتاد في الشافعية، وليس فيه حديث مرفوع صحيح، وأما ما روي في ذلك من حديث أبي أمامة فهو ضعيف لا يقوم به حجة، عزاه الهيثمي للطبراني، وقال: فيه جماعة لم أعرفهم. وأما قوله – صلى الله عليه وسلم -: ((لقنوا موتاكم لا إله إلا الله)) ، فالمراد عند الموت لا عند دفن المبت.
Dalam hadits ini merupakan dalil disyariatkannya memohonkan ampunan bagi mayit setelah selesai penguburan dan memohonkan tatsbit (peneguhan ketika ditanya oleh malaikat, pen) untuknya, dan bahwasanya doa orang hidup itu bermanfaat buat orang mati, tapi ini bukan dalil pembolehan talqin setelah dikubur sebagaimana kebiasaan golongan Syafi’iyah. Serta tidak ada pula hadits marfu’ shahih tentang itu. Ada pun hadits dari Abu Umamah adalah dhaif (lemah), dan tidak bisa dijadikan hujjah. Al Haitsami menguatkan riwayat Ath Thabarani dan mengatakan: “Dalam riwayat ini terdapat golongan manusia yang aku tidak kenal.” Ada pun hadits –talqinkan mautaakum laa ilaha illallaah, artinya ketika meghadapi kematian, bukan setelah mati. (Mir’ah Al Mafatih, 1/229)
Demikian pihak yang menolak dan alasan penolakannya.
Pihak Yang Membolehkan
Bagi golongan ini tidak apa-apa mentalqinkan mayat setelah di kuburnya dan itu bermanfaat baginya, sebab mayat masih bisa mendengar di kuburnya, sebagaimana keterangan banyak hadits shahih.
Imam Ibnu ‘Allan mengatakan:
فاستحبو التلقين بعد الموت وبعد الدفن، وقد ألف فيه الحافظ السخاوي مؤلفاً نفيساً
Mereka (para imam) menyunnahkan talqin setelah kematian dan setalah penguburan, Al Hafizh As Sakhawi telah membuat buku berharga tentang hal ini. (Dalilul Falihin, 6/392)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang membolehkan, berikut ini kami kutipkan dua fatwa Beliau ketika ditanya tentang hukum talqin setelah mayit dikubur:
أجاب: هذا التلقين المذكور قد نقل عن طائفة من الصحابة: أنهم أمروا به، كأبي أمامة الباهلي، وغيره، وروي فيه حديث عن النبي – صلى الله عليه وسلم – لكنه مما لا يحكم بصحته؛ ولم يكن كثير من الصحابة يفعل ذلك، فلهذا قال الإمام أحمد وغيره من العلماء: إن هذا التلقين لا بأس به، فرخصوا فيه، ولم يأمروا به. واستحبه طائفة من أصحاب الشافعي، وأحمد، وكرهه طائفة من العلماء من أصحاب مالك، وغيرهم. والذي في السنن «عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: أنه كان يقوم على قبر الرجل من أصحابه إذا دفن، ويقول: سلوا له التثبيت، فإنه الآن يسأل» ، وقد ثبت في الصحيحين أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: «لقنوا أمواتكم لا إله إلا الله» . فتلقين المحتضر سنة، مأمور بها. وقد ثبت أن المقبور يسأل، ويمتحن، وأنه يؤمر بالدعاء له؛ فلهذا قيل: إن التلقين ينفعه، فإن الميت يسمع النداء. كما ثبت في الصحيح «عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه قال: إنه ليسمع قرع نعالهم» وأنه قال: «ما أنتم بأسمع لما أقول منهم» ، وأنه أمرنا بالسلام على الموتى. فقال: «ما من رجل يمر بقبر الرجل كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله روحه حتى يرد عليه السلام» . والله أعلم
Beliau menjawab: “Talqin seperti itu telah dinukilkan dari segolongan para sahabat bahwa mereka memerintahkan hal ini, seperti Abu Umamah Al Bahili dan selainnya. Dan, diriwayatkan hadits dari Nabi ﷺ tetapi tidak bisa dihukumi shahih, dan perbuatan ini tidak dilakukan banyak sahabat nabi. Oleh karena itu Imam Ahmad dan selainnya dari kalangan ulama mengatakan bahwa talqin seperti ini tidak apa-apa, mereka memberikan keringanan padanya namun tidak memerintahkannya. Ada pun sekelompok Syafi’iyah menyunnahkannya, juga pengikut Ahmad, tetapi dimakruhkan oleh segolongan ulama Malikiyah dan lainnya.
Tertulis dalam kitab-kitab sunah, dari Nabi ﷺ bahwa Beliau berdiri di sisi kubur seorang sahabatnya saat dia dimasukan ke kubur, dan Beliau bersabda: “Berdoalah untuknya keteguhan, karena dia sedang ditanya sekarang.” Telah shahih dalam Shahihain bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Talqinkan orang yang sedang mebghadapi kematian di antara kamu dengan La Ilaha Illallah.” Maka, talqin ketika menghadapi kematian adalah sunah, dan diperintahkan. Telah shahih bahwa seorang yang dikubur akan ditanya dan mengalami ujian, dan dianjurkan untuk mendoakannya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa talqin itu bermanfaat baginya, karena mayit mendengarkan panggilan. Sebagaimana hadits shahih: “Sesungguhnya mayit mendengar suara sandal kalian.” Dan hadits lain: “Tidaklah kalian lebih mendengar apa yang aku katakan dibanding mereka.” Serta perintah nabi kepada kita untuk mengucapkan salam kepada mereka. Nabi ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seorang laki-laki yang dia kenal, lalu dia ucapkan salam, melainkan Allah akan mengembalikan ruhnya sehingga dia menjawab salamnya.” Wallah A’lam. (Al Fatawa Al Kubra, 3/24)
Demikian penjelasan Imam Ibnu Taimiyah mengenai alasan bolehnya talqin setelah dikubur, dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’, dan pengikutnya.
Dalam fatwanya yang lain Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:
الجواب: تلقينه بعد موته ليس واجبا، بالإجماع. ولا كان من عمل المسلمين المشهور بينهم على عهد النبي – صلى الله عليه وسلم – وخلفائه. بل ذلك مأثور عن طائفة من الصحابة؛ كأبي أمامة، وواثلة بن الأسقع. فمن الأئمة من رخص فيه كالإمام أحمد، وقد استحبه طائفة من أصحابه، وأصحاب الشافعي. ومن العلماء من يكرهه لاعتقاده أنه بدعة. فالأقوال فيه ثلاثة: الاستحباب، والكراهة، والإباحة، وهذا أعدل الأقوال. فأما المستحب الذي أمر به وحض عليه النبي – صلى الله عليه وسلم – فهو الدعاء للميت. وأما القراءة على القبر فكرهها أبو حنيفة، ومالك، وأحمد في إحدى الروايتين. ولم يكن يكرهها في الأخرى. وإنما رخص فيها لأنه بلغه أن ابن عمر أوصى أن يقرأ عند قبره بفواتح البقرة، وخواتيمها. وروي عن بعض الصحابة قراءة سورة البقرة. فالقراءة عند الدفن مأثورة في الجملة، وأما بعد ذلك فلم ينقل فيه أثر. والله أعلم.
Jawaban: Talqin setelah mati bukanlah kewajiban berdasarkan ijma’. Dan itu juga bukan perbuatan kaum muslimin pada masa Nabi ﷺ dan para khalifahnya, tetapi itu ma’tsur dari segolongan sahabat seperti Abu Umamah dan Watsilah bin Al Asqa’. Di antara para imam yang memberikan keringanan masalah ini seperti Imam Ahmad, segolongan sahabat menyunnahkannya, juga para pengikut Asy Syafi’i. Di antara ulama yeng memakruhkan meyakini itu adalah bid’ah. Jadi, pendapat dalam hal ini ada tiga: Sunah, Makruh, Dan Mubah, Dan inilah pendapat hang paling lurus.
Ada pun yang yang sunah, yang dianjurkan oleh Nabi ﷺ adalah berdoa bagi mayit, sedangkan membaca Al Quran di kubur dimakruhkan oleh Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam salah satu di antara dua riwayat darinya, dan dia tidak memakruhkan pada riwayat yang lainnya.
Beliau memberikan keringanan hal ini lantaran telah sampai kepadanya bahwa Ibnu Umar mewasiatkan agar membaca di sisi kuburnya awal surat Al Baqarah dan bagian akhirnya. Juga diriwayatkan dari sebagian sahabat nabi ﷺ membaca surat Al Baqarah. Maka, membaca Al Quran adalah ma’tsur (memiliki dasar) secara umum, ada pun setelah kelar di kubur tidak ada atsar-nya. Wallahu A’lam. (Ibid, 3/25)
Imam Asy Sya’biy Rahimahullah berkata:
كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن
Dahulu orang-orang Anshar jika ada yang wafat di antara mereka, mereka berkumpul di sisi kuburnya dan mereka membacakan Al Quran disisi kuburnya. (Imam Abu Bakar Al Khalal, Al Qiraah ‘inda al Qubur No. 7). Demikian. wallahu a’lam.