Nisob Zakat Hasil Tanaman dan Buah-buahan

Nisob Zakat Hasil Tanaman dan Buah-buahan


Fatwapedia.com – Zakat tanaman dan buah-buahan secara global hukumnya wajib. Sebagaimana ketetapannya sudah digariskan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ para ulama, walaupun secara rincinya para ulama berbeda pendapat. [Bada’i` Ash-Shana’i` (2/45)]

Zakat Hasil Tanaman Dan Buah-buahan

Para ulama sepakat atas wajibnya mengeluarkan zakat tanaman sebagaimana yang pernah dilakukan nabi, yakni gandum biji, gandum tangkai, kurma dan kismis. Kemudian terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama selain dalam ketetapan dalil. Secara global pendapat mereka antara lain:

Pertama: Tidak ada zakat bagi tanaman kecuali empat jenis di atas. [Al-Muhalla (5/209) dan halaman seterusnya. Naillu al-Authar (4/170). Al-Amwaal, oleh Abi `Ubaid (469/1378). Tamam Al-Minnah hal 372-373. Fiqh zakat (1/377)] Ini merupakan mazhabnya Ibnu `Umar [Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid (469/1378), sanad shahih dari Ibnu `Umar, beliau berkata dalam permasalahan zakat perkebunan dan buah-buahan berupa kurma, anggur, gandum hintah dan sejenis gandum tangkai, dan lain-lain dalam musnad Asy-Syafi`iy (656) dengan sanad shahih] Hasan Bashri [Hadits diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid (496/1379-1380). Ibnu Zanjawih (1030-1899) dengan sanad shahih] ats-Tsauri, asy-Sya‘bì, Ibnu sirriin, Ibnu al-Mubârak, Abu `Ubaid dan `Ulama terdahulu yang lainnya, yaitu riwayat dari Ahmad, merupakan mazhabnya Ibnu Hazm, hanya saja Ibnu Hazm tidak menganggap sahnya hadits tentang kismis, ini juga menurut asy-Syaukâni, kemudian Al-Albaniy.

Pendapat ini berpijak pada hadits dari Abi Burdah, dari Abi Musa dan Mu‘âdz, bahwa nabi mengutus keduanya ke negri Yaman -untuk mengajarkan pada kaum tersebut tentang urusan agama mereka- kemudian nabi memerintahkan pada keduanya supaya tidak memungut zakat, kecuali empat jenis hasil perkebunan, yakni: Gandum hinthah, gandum sya‘ìr, kurma dan kismis. [Al-Hakim (1/401). Al-Baihaqì (4/125). Dihukum shahih oleh Al-Albaniy dalam ash-shahihah (879)]

Dalam artian selain keempat jenis tanaman tersebut tidak ada dalilnya sama sekali, juga tidak ada ijma dari para ulama‘. Maka tidak diperbolehkan menganalogikan tanaman lain dengan empat jenis tersebut dengan menitik beratkan pada persamaan makanan yang menguatkan, banyak manfaat dan juga banyak wujudnya, dan kemudian menetapkan hukum sebagaimana empat jenis tersebut. Karena nabi ketika mewajibkan zakat khusus pada empat jenis tanaman tersebut, dan meninggalkan yang lain, beliau tau bahwa manusia memiliki bermacam-macam makanan yang menguatkan dan juga bermacam-macam harta hasil dari bumi, namun beliau sengaja tidak mewajibkan zakat karena memberikan kemurahan, sebagaimana kemurahan tidak wajib zakat pada kuda dan hamba sahaya.

Kedua: Menurut mazhab Syafi‘i dan Maliki: Bahwa zakat wajib pada tiap makanan yang menguatkan tubuh dan di simpan, [Al-Muwathaa’ (1/276) terbitan al-Halabii). Al-Muhadzab beserta syarahnya al-Majmuu‘ (5/493). Fiqh Zakat (1/378)] makanan pokok adalah sesuatu yang di buat makanan pokok oleh sejumlah orang yang hidup dalam kondisi normal, tidak dalam kondisi darurat, seperti sejenis gandum biji, gandum tangkai, jagung, beras dan lain-lain. Sedangkan seperti sejenis kacang-kacangan baik itu kacang tanah, biji badam dan lain-lain tidak wajib mengeluarkan zakatnya, walaupun kacang-kacangan tersebut mampu di simpan lama seperti beras, jagung dan makanan pokok lain, namun kacang-kacangan tersebut tidak mampu menguatkan tubuh manusia seperti halnya beras dan lain-lain.

Pendapat ini berlandaskan pada hadits Mu‘adz bin Jabal: Adapun mentimun, semangka, delima, tebu, dan hijau-hijuan, Rasulullah tidak mewajibkan zakatnya. [Hadits Dha`if, dikeluarkan oleh al-Baihaqi (4/129). Al-Hakim (1/558). Ad-Daruquthni (2/97). Lihat at-Talkhiis (837)] Makanan yang menguatkan besar manfaat seperti halnya hewan ternak, maka hukum zakatpun berlaku padanya sebagaimana binatang ternak.

Ketiga: Tiap makanan yang kering, tahan lama, dan bisa di takar. [Al-Mughni (2/690). Syarh Muntaha al-Iraadaat (1/388). Fiqh Zakat (1/381)] Ini merupakan riwayat yang paling terkenal dari Imam Ahmad. Termasuk di dalamnya biji-bijian, buah-buahan yang bisa di takar dan di simpan, termasuk juga jenis kacang-kacangan seperti kacang buncis atau kacang panjang, adas dan jenis kacang lain, termasuk juga kurma, anggur, biji badam, kacang tanah dan lain-lain. Karena semua jenis makanan di atas memiliki sifat kering, tahan lama dan bisa di takar.

Sedangkan jenis buah-buahan tidak ada zakatnya, seperti apel, buah pala, dan lain-lain, dan juga sayur-sayuran. Dalil mereka adalah:

1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

(لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوسَقٍ صدقة)

Tidak ada zakat pada perak yang beratnya kurang dari lima ausaq.” [Hadits Riwayat: Al-Bukhariy (1447). Muslim (979)]

Mereka mengatakan bahwa hadits ini memandang harta yang wajib dikeluarkan zakat dari sudut timbangan, ini menunjukkan bahwa zakat hanya wajib pada jenis hasil tanaman ladang atau perkebunan yang bisa di timbang dan di takar.

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَيْسَ فِي حَبٍّ وَلَا تَمْرٍ صَدَقَةٌ، حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ

Tidak ada zakat pada biji-bijian dan kurma hingga beratnya mencapai 5 ausaq. [Hadits Riwayat: Muslim (979). An-Nasa’iy (2485)]

Mereka mengatakan: Ini menunjukkan wajibnya zakat pada biji-bijian dan kurma, dan meniadakan yang lain.

Ibnu Taimiyah memilih bahwa yang mu’tabar dalam masalah ini adalah sudut penyimpanan, bukan sudut pandang yang lain, karena adanya makna yang sesuai untuk mewajibkan zakat pada masalah ini, berbeda dengan takaran yang merupakan ukuran murni dan juga timbangan.

Keempat : Tiap sesuatu yang di tanam oleh anak adam di bumi dan menghasilkan, maka wajib hukumnya dikeluarkan zakatnya. [Al-Muhalla (5/212). Al-Hidaayah (5/502). `Urdhatul Ahwadzii (3/135)]

Ini merupakan ucapan `Umar bin ‘Abdul ‘Azìz, dan merupakan mazhabnya Abu Hanifah, dan Daud Azh-Zhârì, dirajihkan oleh Ibnu ‘Arabi dan merupakan pendapat yang di pilih oleh al-Qardhâwi. Dalil mereka:

a. Keumuman makna ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. [Al-Baqarah, ayat 267]

Mereka mengatakan: Tidak akan bisa dibedakan apa saja yang dikeluarkan dari bumi.

b. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

(وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ)

Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik hasilnya (panen). [Al-An‘am, ayat 141]

Ayat ini disebutkan setelah menjelaskan tentang beragam jenis yang berkaitan dengan makanan berupa kebun-kebun yang berjunjung, buah kurma, pohon-pohon yang beraneka ragam, buah zaitun, dan buah delima.

c. Hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

(فيما سقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ وَفيمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ)

Pada produksi pertanian yang diairi dengan air hujan maka zakatnya sepuluh persen; dan pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan alat angkutan air, maka zakatnya lima persen”

Mereka mengatakan: Pada hadits ini juga tak dapat dibedakan antara beberapa jenis makanan yang menguatkan, antara beberapa jenis bahan makanan, antara makanan yang bisa bertahan lama dan tidak. Ibnu Arabi berkata: Dalil paling kuat dalam masalah ini adalah dalil mazhabnya Abu Hanifah yang lebih bersimpati pada orang miskin, dan paling utama dalilnya untuk merealisasikan rasa syukur atas anugrah nikmat rizki dari Allah, inilah pesan makna umum yang di tunjukkan oleh Al-Qur’an dan hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam .

Mereka mempertanyakan dan meragukan pendapat para ulama yang mewajibkan zakat hanya pada empat jenis makanan. Kemudian berkata: Untuk menetapkan kebenaran pendapat, ulama-ulama itu melakukan penafsiran, hingga kewajiban zakat terbatas pada empat jenis makanan saja?!

Pendapat Yang kuat : Zakat Tanaman Dan Buah Tidak Disyaratkan Satu Tahun

Menurut kesepakatan para ulama, tidak disyaratkan satu tahun dalam zakat hasil tanaman sawah ladang dan perkebunan. Sesuai dengan firman Allah Subhanahu wata’ala :

(وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ)

Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik hasilnya (panen).

Karena hasil bumi itu berkembang dengan sendirinya, kemudian diwajibkan zakat. Berbeda dengan harta-harta zakat yang lain yang syaratnya satu tahun, sebab ianya memungkinkan butuh pada penanaman modal. [Al-Mughni (6/696)]

Kapan Zakat Hasil Tanaman Dan Buah Diwajibkan? Dan Kapan Dikeluarkan?

Wajib mengeluarkan zakatnya di saat sudah tampak masaknya buah, seperti kerasnya biji pada tumbuhan biji-bijian, adanya rasa manis dan berwarna pada buah kurma, anggur dan lain-lain.

Sedangkan waktu mengeluarkan zakatnya, yakni pada biji-bijian setelah membersihkannya, dan pada buah seperti kurma dan anggur setelah pengeringan, karena masa tersebut adalah waktu yang siap saji, dan waktu penyimpanan. Terkait dengan hal ini, jika tanaman tersebut rusak sebelum matang, maka sama sekali tidak ada kewajiban zakat, juga jika rusaknya setelah matang atau setelah berkewajiban mengeluarkan zakatnya, namun sebelum di rawat atau di simpan, maka juga tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. [Al-Mughni (2/702)]

Adakah Disyaratkan Nishab Pada Zakat Tanaman Dan Buah? Dan Berapa Kadarnya?

Menurut mayoritas disyaratkan mencapai satu nishab, dan kadarnya 5 ausaq dari biji-bijian yang sudah dibersihkan. Berdasarkan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

(لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوسَقٍ صدقة)

Tidak ada zakat pada perak yang beratnya kurang dari lima ausaq.”

Kadarnya : 50 takaran Mesir, sama dengan (4 1/6) H.L, sama dengan 647 kilo gram gandum. Jika hasil panennya kurang dari satu nishab, maka tidak wajib mengeluarkan zakat menurut mayoritas ulama, dan sebagian dari mereka adalah ulama-ulama mazhab Abu Hanifah. Sedangkan Abu Hanifah sendiri mewajibkan zakat pada hasil tanaman baik kadarnya sedikit, maupun banyak. Asumsi ini berlandaskan pada makna umum dari hadits:

فيما سقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْر…

Pada produksi pertanian yang diairi dengan air hujan maka zakatnya sepuluh persen. [Fiqh Zakat (1/400)]

Karena satu tahunnya tidak diperhitungkan, maka nishabnya juga tidak diperhitungkan.

Akan tetapi hadits :

لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوسَقٍ صدقة

Tidak ada zakat pada perak yang beratnya kurang dari lima ausaq

tidak bertentangan dengan hadits sebelumnya, karena hadits ini maknanya khusus, jelas dan rinci, sedangkan hadits sebelumnya maknanya umum, tidak jelas dan gelobal, dan hadits ini menjelaskan tentang nishab, hanya saja hadits ini membedakan antara wajib mengeluarkan zakat 1/10 atau separuhnya, maka tidak ada pertentangan antara keduanya.Allah Maha Tahu. [Al-Mughni (2/695). I‘laamu al-Muwaqq‘iin (3/229)]

Kadar Nishab Barang Yang Tidak Ditakar Yang Diwajibkan Zakatnya Oleh Sebagian Ulama.

Barang yang tidak di takar dengan timbangan seperti kapas misalnya, maka para ulama berbeda pendapat tentang kadar nishabnya:

Dilihat dari sudut pandang harga, jika harganya mencapai nishab barang-barang yang di takar, maka wajib mengeluarkan zakat, jika tidak seharga barang tersebut, maka tidak ada zakatnya. [Fiqh Zakat (1/401)]

Ditinjau dari sudut 5 padanan yang lebih tinggi untuk mengukur atau menentukan nishabnya.

Nishabnya disamakan dengan nishab uang.

Dikeluarkan zakatnya baik barangnya sedikit, maupun banyak tanpa memandang nishab.

Nishabnya di ukur dengan timbangan, yakni 647 kilo gram.

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni jilid 2/697 mengunggulkan pendapat yang terakhir dan memberikan komentar pada pendapat-pendapat yang lain: “Saya tidak menemukan pendapat-pendapat mereka itu memiliki dalil dan dasar yang bisa di buat pedoman pendapat mereka”. Dan Ibnu Qudamah menguatkan pendapat yang terakhir dengan hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :

(لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوسَقٍ صدقة)

Tidak ada zakat pada perak yang beratnya kurang dari lima ausaq

Sedangkan al-Qardhawi memilih pendapat yang memandang dari sudut harga, yakni pendapat pertama.

Apakah Pendapatan Dikumpulkan Sebagiannya Dengan Sebagian Yang Lain Untuk Menyempurnakan Satu Nishab?

Pendapat ulama yang paling kuat, bahwa pendapatan yang sejenis dikumpulkan sebagiannya dengan sebagian yang lain, sedangkan yang berlainan jenis tidak dikumpulkan. Maka gandun jenis hinthah tidak dikumpulkan dengan gandum jenis tangkai, tidak dikumpulkan pula beberapa jenis kacang-kacangan sebagiannya dengan sebagian yang lain. Maka tidak dikumpulkan kacang chickpea dengan kacang buncis dan adas, dan lain sebagainya. [Al-Majmuu‘, oleh imam Nawawi (5/511-513)] Adapun jenis gandum biji boleh dikumpulkan satu sama lain, demikian juga jenis tangkai. Semua jenis kurma, meskipun kadang penyebutannya berbeda, untuk menyempurnakan satu nishab boleh dikumpulkan satu kurma dengan sesama jenis kurma lainnya, [Al-Muhalla Ibnu Hazm (5/253)] dan walaupun berasal dari kebun yang berbeda-beda.

Namun sebagian ulama memperbolehkan menggabungkan gandum biji dengan gandum jenis tangkai untuk menyempurnakan satu nishab, demikian pula beberapa jenis kacang-kacangan yang berbeda, seperti kacang buncis, chickpea, kacang polong, adas, dan jenis kacang-kacangan yang lain. Ini merupakan pendapat dari mazhab Maliki, riwayat dari Ahmad dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah. [Al-Mughni (2/560). Al-Mudawwanah (1/288). Ensiklopedia Fatwa (25/23-24)]

Penulis berkata: Saya tidak menemukan dalil sebagai dasar pendapat ini. Pendapat yang pertamalah yang jelas dalilnya. Bersambung, in syaa Alloh…

Leave a Comment