Apa Yang Dimaksud Adil Dalam Poligami?

Apa Yang Dimaksud Adil Dalam Poligami?

Fatwapedia.com – Dalam Islam ada syariat poligami, namun disyaratkan harus berlaku adil. Ada yang mengatakan bahwa berbuat adil mustahil bisa dilakukan karena Allah ta’la berfirman: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisa: 129)

Bagaimana ini ustadz, disisi lain Allah membolehkan poligami, dan dalam prakteknya Nabi, shahabat dan juga para ulama berpoligami, sedangkan Allah mengatakan tidak mungkin bisa berbuat adil padahal itu menjadi syaratnya poligami. Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Untuk bisa memahami dengan benar sebuah perintah dan larangan dalam agama, kita harus mengembalikan kepada ilmu para ulama. Itu mengapa para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika membahas sesuatu memulai dengan ta’rif (definisi) agar objek yang sedang dibahas menjadi jelas.

Demikian juga kata adil dalam ayat yang ditanyakan, harus dikembalikan kepada makna adil yang dimaksud diayat tersebut. Karena kalau ayat itu dijadikan sebagai dalil mustahilnya adil dalam semua pernikahan poligami, sehingga lawannya adil adalah dzalim, lalu mengapa Nabi, para sahabat dan Para ulama berpoligami? Apakah kita menuduh mereka telah mendzalimi istri-istrinya?

Dan seharusnya ayat ini juga menjadi dalil pengharaman poligami, karena syarat poligami yang dibenarkan dalam syariat adalah harus adil, sedangkan itu menurut pemahaman ayat surah an Nisa ayat: 129 tidak mungkin bisa terpenuhi.

Tapi ternyata tidak, tidak ada satupun ulama muslimin dari mazhab manapun yang menyimpulkan hukum seperti itu. Belum ada satupun ulama yang berfatwa haramnya poligami dengan alasan ayat diatas. Justru perdebatan ulama berkisar dibahasan apakah hukum poligami itu sekedar mubah ataukah Sunnah.

Perintah Dan Makna Adil Dalam Poligami

Perintah untuk berbuat adil kepada para istri termaktub dalam firman Allah ta’ala :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

“Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa’: 3)

Berdasarkan ayat diatas mayoritas ulama sepakat bahwa suami yang memiliki lebih dari satu isteri harus mampu bersikap adil.[1]Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wassAlam memPeringatkan :

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia hanya memeprhatikan kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Daud)

Demikianlah suami diperintahkan untuk berlaku adil kepada istri-istrinya. Lantas keadilan apa yang diperintahkan dalam ayat tersebut ? 

Ulama sepakat berpendapat bahwa keadilan yang dituntut dalam  poligami adalah memberikan hak yang sama pada semua isterinya, dalam membagi giliran malam, nafkah, tempat tinggal, maupun pakaian.[2]

Disebutkan dalam al Mausu’ah :

قال العلماء: المراد الميل في القسم والإنفاق لا في المحبة، لما عرفت من أنها مما لا يملكه العبد

“Dan berkata para ulama : Yang dimaksud adalah kecendrungan tidak adil dalam masalah giliran malam dan nafkah, bukan pada perasaan cinta, karena masalah perasaan termasuk perkara yang diluar kemampuan seorang hamba.”[3]  

Al Adzim al Abadi berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa wajib bagi suami untuk menyamakan dan tak boleh condong pada salah satunya, yaitu dalam hal pembagian malam dan nafkah. Ini bukan berarti mesti sama dalam hal kecintaan. Kecintaan tersebut tak bisa seseorang membuatnya sama.”[4]

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Suami tidak boleh melebihkan salah seorang dari dua istrinya dalam hal bagian giliran. Namun, jika ia mencintai salah satunya melebihi yang lain dan menggaulinya lebih banyak dari yang lain, itu bukan perbuatan dosa.”[5]

Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata : “Sesungguhnya Rasulullah berkeliling menggilir isteri-isterinya pada saat beliau sedang sakit, sampai pada akhirnya kami semua merelakan beliau (untuk tinggal di salah satunya)”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Adil dalam surah an-Nisa ayat 129

Allah ta’ala berfirman :

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَة

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…”

Ayat diatas menyatakan bahwa tidak ada orang yang bisa berlaku adil, lantas mengapa masih diperintahkan adil dalam poligami ? Itu namanya membebani manusia dengan sesuatu yang tak mampu ia lakukan, padahal Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan “Allah tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak mampu ia laksanakan”. (QS. Al Baqarah: 284)

Mari kita simak penjelasan para ulama mengenai hal ini.

Dalam Tafsir al Qurthubi jilid 5 halaman 405 :

أخبر تعالى بنفي الاستطاعة في العدل بين النساء، وذلك في ميل الطبع بالمحبة والجماع والحظ من القلب.. ولهذا كان عليه السلام يقول: (اللهم إن هذه قسمتي فيما أملك فلا تلمني فيما تملك ولا أملك)

“Allah mengkhabarkan bahwa tidak akan mampu seseorang berlaku adil kepada para istri, yakni yang berkaitan kecendrungan rasa cinta, hubungan seksual dan perasaan dalam hati.  Karenanya Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam berdoa : 

“Ya Allah, inilah pembagianku pada perkara yang aku bisa, maka janganlah Engkau mencelaku pada perkara yang Engkau miliki, namun tidak aku miliki”.[6]

Ibu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Tidak akan mampu bersikap adil’ dari ayat tersebut bermakna ketidak mampuan seorang suami dalam dua hal : perasaan cinta, dan hubungan seksual.”[7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna firman Allah Ta’ala: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, artinya: berlaku adil dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat).[8]

Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. mempersamakan hak atas kebutuhan seksual  dan kasih sayang di antara isteri-isteri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu  sebenarnya  sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.[9]

Karenanya Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam ketika ditanyakan kepada beliau :

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ عَائِشَةُ

“Siapakah manusia yang paling Engkau cintai?” Beliau menjawab: ‘Aisyah’.” (HR. Bukhari)

Dianjurkan Adil Dalam Menyenangkan Setiap Isteri

Meskipun para ulama sepakat bahwa memberikan pelayanan seksual dan perasaan kasih sayang secara adil tidaklah wajib, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya ‘mustahab’ (sangat dianjurkan) untuk juga beraku adil dalam memberikan kesenangan batin terhadap isteri-isterinya, seperti dalam berhubungan seksual, mencium, ataupun cumbuan lainnya. Walaupun kadar cintanya pada setiap isteri mungkin berbeda.[10]

Dahulu para ulama salaf jika memberikan sesuatu kepada satu istrinya, maka ia akan berusaha memberikan hal yang sama kepada istrinya yang lain, sebagai upaya berbuat adil dalam hal yang mereka mampu.

Diriwayatkan bahwa Muhammad ibnu Sirin berkata tentang seorang lelaki yang memiliki dua istri, “Dibenci ia berwudhu di rumah salah seorang istrinya, sementara itu di rumah istri yang lain tidak dilakukannya.”[11]

Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata tentang seorang lelaki yang mengumpulkan istri-istri (madu dengan madu), “Para salaf menyamakan perlakuan di antara istri-istrinya, sampai-sampai apabila tersisa gandum dan makanan yang bisa ditakar, mereka tetap membagi-bagikan di antara istri-istri mereka; setelapak tangan demi setelapak tangan.”[12]

Kesimpulan

Seorang muslim dibolehkan  menikahi wanita lebih dari satu, namun kebolehan ini  memiliki syarat yakni berupa kewajiban berbuat adil. Sebuah kata yang mungkin mudah diucapkan, namun dalam prakteknya itu  membutuhkan tenaga, waktu, materi, dan juga ilmu yang memadai. Jika ternyata seseorang  tidak mampu, daripada jatuh kepada dosa kedzaliman terus menerus, cukuplah satu wanita yang mendampinginya dalam mengayuh biduk rumah tangga. 

Yang diwajibkan untuk adil dalam poligami adalah dalam masalah tempat tinggal, nafkah dan menggilir malam sedangkan yang disunnahkan adil dalam poligami adalah dalam masalah jima’, perhatian dan kesenangan batiniyah lainnya. 

Terakhir kita harus ingat pesan salah seorang ulama : “Jika Allah menetapkan sebuah perintah, maka syetan akan menggoda dengan doa jalan. Pertama adalah menggoda untuk meremehkan perintah tersebut, atau cara kedua adalah membuat berlebih-lebihan dalam melaksanakannya. Dan syetan tidak peduli, dengan godaan yang mana dia akan berhasil.”

Dalam masalah poligami ini hendaknya kita waspada kepada dua hal tersebut, meremehkan atau melebih-lebihkan. Wallahu a’lam.

Catatan kaki:

[1] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (9/91).

[2] Bada’i ash-Shanai’ (2/332), Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (24/64), Fiqh al Islami wa Adillatuhu (6/216), Fiqh ‘ala Mazhab al Arba’ah (4/213).

[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (36/189).

[4] ‘Aunul Ma’bud (6/124)

[5] Majmu’ Fatawa (32/269)

[6] Keterangan yang semisal bisa kita dapatkan dalam tafis  Ibnu Katsir jilid 2 halaman 246, al Maraghi jilid 5 halaman 175 dan lainnya.

[7] Tafsir Ibnu Katsir (1/747).

[8] Al Umm halaman 158.

[9] Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah (4/213).

[10] Al Muhadzdzab, jilid (2/ 68)

[11] Al Mushannaf, 4/387)

[12] Al Mushannaf (4/387

Leave a Comment