Fatwapedia.com – Habaib adalah bentuk jamak Habib. Menurut istilah hadlro maut habib adalah orang yang nasabnya bersambung dengan Sayyidi Alwi bin Ubaidillah. Istilah khusus ini berlaku mulai zamannya Umar bin Abdur Rahman Al-atthos, semoga saja Allah mensucikan ruhnya. Beliau menciptakan istilah ini dengan tujuan menarik rasa cinta yang tulus dari orang-orang Mukmin yang membenarkan adanya kewajiban mencintai ahli bait mengalahkan pada yang lainnya sebagaimana hal itu diterangkan dalam Alqur’an dan Hadist.
Para habib memiliki peran yang signifikan dalam proses dakwah di Indonesia sejak dahulu hingga kini. Seperti nama gelarnya itu, para habib menggunakan metode dakwah yang cenderung menebarkan kasih sayang dan cinta yang dilandasi tauhid di tengah masyarakat. Tak mengherankan bila kaum Muslimin lokal pun mencintai dan menghormatinya.
Habib Jindan bin Novel membenarkan anggapan ini. Dai yang juga pimpinan Yayasan al-Fachriyah, Tangerang, Banten, itu mengatakan, kaum sayyid mulanya datang ke Nusantara baik sebagai mubaligh, pedagang, atau bahkan keduanya. Mereka berperangai luhur dan mulia, selalu menebar kasih sayang dan cinta di manapun berada.
Menukil catatan Van den Berg dalam buku Orang Arab di Nusantara, habaib dari Hadramaut mulai marak berdatangan ke Indonesia sejak akhir abad ke-18. Sembari berniaga, banyak di antaranya yang menjadi pendakwah di tengah masyarakat tempatan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negeri-negeri jiran, seperti Malaysia, Singapura, atau Brunei Darussalam.
“Di mana pun mereka datang, maka tempat bumi menjadi harum dengan keberadaan mereka,” ujar ulama kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, ini dalam sebuah acara diskusi daring yang bertajuk “Menyusuri Jejak Cinta”, beberapa waktu lalu.
Prof Buya Hamka dalam berbagai karangannya juga menyatakan besarnya peran kaum habaib dalam dinamika sejarah dakwah di Nusantara. Menurut penulis buku Sejarah Umat Islam itu, keturunan Ali bin Abi Thalib ikut berkiprah dalam membesarkan Kesultanan Aceh Darussalam. Kontribusinya sangat besar khususnya dalam dunia pendidikan dan dakwah.
Peran dakwah para habaib ternyata tidak hanya merambah Nusantara. Namun dakwah mereka jauh tak tersekat oleh batas geografis dan negara. Para habaib kerap menjalankan misi dakwah ke berbagai negara dengan jumlah islam minoritas. Seperti di negara-negara barat dan Eropa. Namun dikarenakan dakwahnya yang cenderung lembut dan penuh kasih sayang, mereka dapat dengan mudah diterima oleh semua kalangan. Walhasil tidak sedikit mualaf yang merengkuh hidayah atas seruan mereka.
Berikut ini kami rangkum nama-nama habaib yang berdasarkan pengaruh dan pengikutnya memiliki jumlah besar dan luas tersebar ke beberapa wilayah atau negara. Inilah biografi singkat 8 habib yang cukup berpengaruh versi fatwapedia.com. Selamat membaca!
Habib Umar bin Hafiz
Habib Umar dan Habib Jindan |
Habib Umar bin Hafidz adalah ulama yang berakidah Ahlussunnah wal jmaah. Beliau lahir di Tarim, Hadraumut, Yaman pada 4 Muharram 1383 atau bertepatan dengan 27 Mei 1963. Nasab dan silsilah keturunan beliau bersambung langsung kepada Rasulullah saw.
Habib Umar bin Hafidz dikenal sebagai Ulama yang aktif dan senantiasa menghabiskan seluruh hidupnya untuk berdakwah di jalan Allah. Beliau adalah pendiri dan pengasuh pondok pesantren Darul Mustafa dan berbagai sekolah Pendidikan Islam agama lainnya dibawah managemennya. beberapa contoh murid muridnya yang sukses berdakwah dan berasal dari indonesia adalah Habib Mundzir Al Musawwa yang merupakan pendiri majelis terbesar di indonesia dan diberi nama Majelis Rasulullah, lalu ada Habib Jindan bin novel bin jindan (jakarta), habib jamal baagil (malang), habib sholeh aljufri (solo) dan masih banyak lagi.
Dalam menempuh ilmu agama, habib umar tidak hanya mempunya satu atau dua guru saja, ia memiliki banyak guru dan menimba ilmu dari berbagai ulama di tarim, hadraumut hingga ke mekkah dan madinah. beberapa nama guru gurunya adalah Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, al-Habib Zain bin Sumait, al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya, al-Habib Muhammad al-Haddar, al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad, al-Habib ‘Attas al-Habashi serta guru besarnya al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad assegaf.
Karya-karya Habib Umar bin Hafidz
- Is’af at Thalibi
- Ridha al-Khalaq bi bayan Makarimal Akhlaq
- Taujihat at-Thullab
- Syarah Mandzumah Sanad al-‘Ulwi
- adz-Dzakirah al-Musyarrafah(Fiqih)
- Dhiyaullami’bidzikri Maulid an-Nabi asy-Syafi'(Maulid Nabi Muhammad SAW
- Khuluquna
- Khulasoh madad an-nabawiy(Dzikir)
- Syarobu althohurfi dhikri siratu badril budur
- Taujihat nabawiyah
- aliman(Aqidah)
- Almukhtar syifa alsaqim
- Al washatiah
- Mamlakatul qa’ab wa al ‘adha’
- Muhtar Ahadits (Hadits)
- Durul Asas (Nahu)
- Tsaqafatul Khatib (Panduan Khutbah)
Habib Ali Aljufry
Habib Ali Al Jufry |
Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri dilahirkan di kota Jeddah, Arab Saudi akurat sebelum fajar pada hari Jumaat, 16 April 1971 bertepatan 20 Safar 1391 H, dari orang tua yang mencapai pada keturunan Imam Hussein bin Ali ra.
Nasabnya
Habib Ali Zainal Abidin bin Abdul Rahman bin Ali bin Muhammad bin Alawi bin Ali bin Alawi bin Ali bin Ahmad bin Alawi bin Abdul Rahman Maulah Al-Arsha bin Muhammad bin Abdullah al-Tarisi bin Alawi al-Khawas bin Sisa dari pembakaran Bakar Al-Jufri putra Muhammad putera Ali putera Muhammad putera Ahmad al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Sahab Mirbat Muhammad bin Ali Khalil Alawi Qassam anak putera Muhammad putera Alwi putera Ubaidullah Ahmad al-Muhajir ila Allah Isa putera Muhammad al-Naqib bin Ali al -Uraidhi bin Jaafar as-Sidiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin putera dari Hussein (cucu Rasulullah saw) anak dari Ali bin Sisa dari pembakaran Thalib, suami dari Fatimah al-Zahra puteri Rasulullah saw.
Ibunya yang agung puteri Marumah putera Hassan bin Alawi bin Alawi Hassan bin Ali al-Jufri.
Pendidikannya
Habib Ali Al-Jufri mulai mempelajari ilmu semenjak kanak-kanak lagi melalui gurunya yang pertama adalah ibunya sendiri. Ibunya mempunyai pengaruh yang akbar atas diri ia dan dalam pelajaran dan rohani.
Guru-gurunya
- Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Saqqaf, Jeddah
- Habib Ahmad Masyhur bin Taha Al-Haddad
- Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Makkah
- Habib Attas Al-Habsyi
- Habib Sisa dari pembakaran Bakar Al-Masyhur Al-Adani
- Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar
- Habib Umar bin Hafiz, Yaman, menjadi kenalannya juga dari 1993 hingga 2003
Keaktifannya
Habib Ali Al-Jufri telah memberikan kelas untuk mengajar, bimbingan, nasihat, untuk membangunkan orang untuk tanggungjawab mereka dan untuk mengajak orang-orang kembali pada Allah dalam banyak negara, dimulai pada 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa Yaman. Ia memulai perjalanan di luar negeri 1414 H/1993 yang masih terus hari ini dan selangnya termasuk negara-negara berikut:
- Arab: UAE, Jordan, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lubnan, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Kepulauan Komoro dan Djibouti.
- Asia: Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh dan Sri Lanka.
- Afrika: Kenya dan Tanzania.
- Eropa: Britania Raya, Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia & Herzegovina dan Turki.
- Amerika: 3 perjalanan yang pertama adalah pada tahun 1419 H/1998, yang kedua adalah pada 1422 H/2001 dan yang ketiga yang pada 2002/1423, di samping juga mengunjungi Kanada.
Habib Umar Aljaelany
Habib Umar Aljaelany |
Al Habib Umar bin Hamid bin Abdul Hadi Al-Jailani lahir pada tahun 1950, di Hadramaut Yaman. Sejak kecil, pada umur 7 tahun, Beliau sudah belajar iImu agama dan mengkaji Al-Quran di rumahnya.
Habib Umar mempelajari kitab-kitab ilmu syariat dan beliau menghafal sebagian dari matan-matannya bersama ayah beliau, Al Allamah Alhabib Hamid Bin Abdul Hadi Al Jailani.
Habib Umar sangat beruntung karena memiliki ayah seorang alim. Beliau juga belajar kitab-kitab lainnya di hadapan ayah beliau.
Di samping ngaji kepada ayahnya, Habib Umar juga ngaji kepada ulama ulama besar di Hadhromaut. Untuk memperdalam ilmu agama, Habib yang kini berusia 62 tahun itu berangkat ke Tanah Suci, Mekkah Al Mukarromah untuk belajar kepada mereka ulama-ulama Mekkah.
Di tanah kelahiran Nabi ini, Habib Umar bin Hamid yang merupakan keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jailani ini belajar kepada para masyaikh, diantaranya Al Allamah As-Syayid Alawi Al-Maliki, Al Allamah Assyekh Hasan Masyad, Al Allamah Assyekh Abdullah Daadum. Tak heran jika keilmuan Habib Umar sangat mendalam. Berbekal ilmu yang begit luas, Habib Umar mengajarkan ilmunya dan menebarkan dakwah.
Selain membuka majelis ilmu di kediamannya, di distrik Subhaniyah yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Masjidil Haram, Beliau juga mengajar di beberapa majelis ilmu di Kota Mekkah. Habib Umar bin Hamid juga menyampaikan dakwah di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Setiap tahun, Beliau datang ke tanah air untuk me ngobati rasa haus ilmu ummat Islam di Indonesia.
Salah satu jamiyyah yang rutin mengundang Beliau adalah Jamaah Al-Khidmah. Beliau memang diminta langsung oleh Almaghfurulah Hadrotussyeikh Romo KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi untuk ikut membina Jamaah Al-Khidmah.
Di samping aktif menyampaikan ilmu melalui forum pengajian, Habib yang selalu tampil santun ini juga giat dalam menuangkan ilmunya dalam bentuk tulisan. Beliau menulis kitab-kitab diantaranya, At-Tadzkir Wa Hajatunas Ilaiha, Kholasatul Khobar Dan Syarah Kitab Safinatun Najah. Keluhuran ilmu dan ketinggian pekerti menjadikan Habib Umar laksana mutiara.
Kedalaman ilmunya, menjadikan Beliau dibutuhkan dimanapun. Beliau sering bepergian ke Negara-negara Islam lainnya, serta menghadiri muktamar-muktamar atau seminar lainnya. Bahkan beliau juga menjabat sebagai anggota Majelis Umara Di Universitas Al-Ahgoff dan Habib Umar merupakan salah satu pendiri sekaligus sebagai donatur di universitas ternama di Hadhromaut itu.
Habib Zain Bin Sumaith
Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu,. Selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.
Sejak kecil Habib Zain sudah mengenal agama dengan baik, baik ilmu pengetahuan maupun amaliah sehari-hari. Mengetahui Habib Zain memiliki kelebihan dibanding saudara- saudara lainnya, ayahnya memberikan pendidikan ekstra. Tak hanya ilmu, akhlak pun ditekankan pada diri Habib Zain.
Riwayat Pendidikan dan Guru-gurunya
Mengunjungi para ulama contohnya. Seperti diketahui, mengunjungi (dalam bahasa Jawa: sowan) sudah menjadi tradisi bagi sebagian umat Islam, seperti Jawa dan Arab asal Hadramaut Yaman. Tak sekadar silaturahmi, tapi yang diharapkan adalah berkah doa dari mereka, para ulama.
Sowan inilah yang dijadikan salah satu mediasi oleh sang ayahanda, Habib Ibrahim, dalam mendidik Habib Zain. Dari rasa cinta dan hormat (mahabbah dan ta’dzim), lalu muncul pada diri Habib Zain rasa ingin menjadi seperti mereka, paling tidak meneladani perilaku mereka.
Sejak itu, Habib Zain mengais ilmu dari ulama-ulama Betawi. Di waktu beliau masih kecil, ayahnya suka membawanya ke Majelis Habib Alwi bin Muhammad al-Haddad, salah satu pemuka kalangan saddah ‘Alawiyyin yang bermukim di Bogor (Beliau dimakamkan di kubah gurunya Al-Habib Abdullah bin Mukhsin al-Aththas, masjid An-Nur, Empang Bogor).
Beliau menghadiri maulid yang biasa diadakan di rumah Habib Alwy setiap ashar di hari Jum’at. Habib Alwi terhitung guru pertama dalam kehidupan beliau. Selain Habib Alwi, masa kecil Habib Zain banyak dihabiskan untuk menimba ilmu kepada Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi (Kwitang, dekat Pasar Senen Jakarta Pusat).
Habib Salim Assyathiry
Habib Salim Assyathiry |
Al-Habib As-Sayyid Al-Faqih Al-Murobbi Ad-Dai’ Ilaallah Salim bin Abdullah bin Umar bin Ahmad Asy-Syatiri Ba’alawi Al-Huseiniy Al-Hadramiy Al-Tariimiy, sandaran utama keilmuan, maha guru, pembesar para sufi, berbudi pekerti luhur, berilmu tinggi, beliau ahli dalam seluruh bidang ilmu, baik itu ilmu dzhahir maupun batin.
Beliau dilahirkan di kota Tarim Hadramaut, Yaman pada tahun 1357 H, tumbuh besar dalam lingkungan yang salih dan baik, melazimi para maha guru dan memakai baju kesufian dari mereka hingga lulus dari jalan pendidikan sufi.
Julukan Asy-Syatiri berawal dari datuk pendahulunya, tokoh pertama yang menyandang julukan ini ialah Sayyid Alawi. Demikian itu lantaran dirinya telah membagikan separuh hartanya kepada Abu Bakar Al-Habsyi (saudaranya) sebagai bentuk kasih sayang.
Dalam kitab Taajul Arus, Imam Az-Zubaidiy memaklumatkan bahwa penisbatan Asy-Syatiri diberikan atas sifat kezuhudan yang dimiliki oleh para Salafussalih. Dalam bahasa Arab, Asy-Syatiri bermakna ‘yang mendahului’, dalam arti merekalah para pelopor yang telah bergergas mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Habib Salim Asy-Syatiri menimba ilmu kepada para ulama salih di zamannya, yang notabenenya adalah murid dari ayahandanya sendiri, Syaikhul Islam Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiri. Beliau telah berguru kepada 100 ulama lebih di berbagai disiplin ilmu, di antara gurunya yang termasyhur ialah, Sayyid Alawi bin Abdullah bin Syihabuddin, Sayyid Muhammad bin Salim bin Hafidz (As-Syahid), Sayyid Abdul Qodir bin Ahmad As-Segaf dll.
Murabbi (pendidik) beliau ialah Sayyid Alawi bin Abbas Al-Maliki (Ayahanda Sayyid Muhammad Al-Maliki). Habib Salim melazimi gurunya menempuh jalan mujahadah dalam ibadah, bagi Habib Salim, Sayyid Alawi merupakan figur rohaniwan mulia yang telah memberikan curahan ilmu zahir maupun batin. Selain melazimi ulama-ulama Hadramaut dan Haramain, Habib Salim juga sempat menimba ilmu falak kepada Syaikh Abdul Hamid dan Syaikh Muhammad bin Yasin Al-Fadani, yang keduanya itu berasal dari Indonesia.
Kawan seperjuangan Habib Salim yang berpartisipasi dalam berdakwah, baik itu di Tarim, Aden maupun di Mekkah Al-Mukarramah ialah Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Habib Ali Mashyur bin Salim bin Hafidzh (ketua majlis fatwa di Tarim), serta Sayyid Abdul Qadir Al-Jailaniy bin Salim Al-Khard.
Dalam keilmuannya beliau mendapat tingkatan yang tinggi, sehingga kebesaran beliau diakui oleh para ulama dan penguasa, beliau dicintai dan diterima oleh segala kalangan, dan beliau berhasil mengkader beberapa ulama besar dan memakaikan baju sufi untuk kalangan khusus dan umum. Ulama-ulama yang pernah menimba ilmu kepadanya ialah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Sayyid Husein bin Muhammad Al-Haddar, Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidzh dll.
Habib Abu Bakar Masyhur
Habib Abu Bakar Al-Adni |
Dilahirkan di kota Ahwar pada tahun 1366 H. Dari keluarga yang cinta ilmu dan dakwah, sehingga sejak beliau masih belia kedua orang tuanya telah membuatnya hafal al-Quran. Beliau belajar pada para ulama yang berada di kawasan Hadramaut, seperti Ahwar, Aden, dan sekitarnya.
Sejak berumur empat belas tahun beliau telah dilatih oleh ayahnya untuk berdakwah, beliau bercerita bahwa diusia yang cukup muda itu sang ayah telah memerintahnya untuk membuat konsep khutbah jumat, setelah itu dibaca didepan sang ayah sebelum akhirnya disampaikan di mimbar.
Ketika ada orang bertanya akan pengaruh orang tua pada beliau, beliau menjawab: hampir disemua sisi hidupku, aku tidak lepas dari pengaruh orang tuaku. Ayahku adalah sosok yang sangat disiplin pada waktu, beliau sangat perhatian pada pendidikan keluarga termasuk pendidikanku dan saudara-saudaraku, disamping itu beliau adalah pendidik yang mengajarkan arti dan tujuan hidup ini padaku. Dari prilakunyalah aku banyak belajar tentang arti hidup ini, disamping kerap kali aku mendengar ceramah-ceramah beliau dan pelajaran-pelajaran yang disampaikan pada umat.
Sering aku menyaksikan cucuran air mata beliau ditengah malam saat beliau membaca al-Quran atau bermunajah pada Allah.
Disamping belajar pada para ulama secara tradisional beliau juga belajar di sekolah hingga lulus dari Universitas Aden jurusan tarbiah.
Dimasa remaja, beliau menyaksikan intimedasi dan tekanan yang dilakukan oleh pemeritahan komunis pada rakyat Yaman terutama pada para tokoh dan ulama, termasuk pada keluarga beliau. Hal ini membuat beliau keluar dari tanah kelahirannya menuju Saudi Arabia, kejadian itu beliau tulis dalam sebuah karya sastera yang berjudul al-khuruj min dairatul hamra.
Sesampainya di hijaz beliau diperintahkan oleh sang ayah untuk menjadi Imam disalah satu masjid di kota Jiddah sekaligus sebagai khotib dan guru. Mula-mula beliau ingin melanjutkan studinya ke al-Azhar, Mesir. Namun orang tua beliau kurang berkenan dan bahkan menganjurkan untuk belajar pada al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf.
Rupanya al-Habib Abdul Qadir membuat beliau terlena dalam samudera ilmu dan makrifah sehingga keinginan beliau untuk kemesir menjadi sirna. Dalam masalah ini beliau bercerita “keinginanku untuk belajar kemesir menjadi lenyap setelah aku berjumpa dengan al-Habib Abdul Qadir, sebab tujuan dan keinginanku telah ku jumpai di kota ini, sesuatu yang ku temukan pada diri al-Habib Abdulqadir adalah luasnya masyhad, ilmu yang memadai, kejernihan akal, dan kesungguhan orentasi serta akhlak nubuwah yang sempurna”
Maka sejak saat itu beliau dekat dengan sang guru ini, entah berapa puluh kitab yang dibaca didepan gurunya, hingga akhirnya beliau menjadi salah satu murid istimewa al-Habib Abdul Qadir Assegaf, dan beliau sendiri telah menulis riwayat hidup sang guru dengan lengkap.
Sejak enyah nya kaum komunis dari Yaman selatan, dan terjadinya persatuan antara Yaman selatan dengan Yaman utara, beliaupun pulang ke Yaman dengan membawa pemikiran cemerlang didalam menciptakan kehidupan yang kondusif dan damai di Negara Yaman, beliau termasuk ulama pertama yang mempropagandakan persatuan pemikiran dan jiwa pada masyarakat Yaman setelah Negara mereka bersatu.
Disinilah kiprah beliau mulai tampak, beliau membuka puluhan pondok pesantren diberbagai pelosok negeri Yaman, disamping mendirikan pusat-pusat pendidikan yang jumlahnya tidak kurang dari 83 cabang.
Beliau mampu menggabungkan system pendidikan akademi moderen dan system pendidikan tradisional. Sehingga mayoritas murid-murid beliau adalah para sarjana dan cendikiawan yang ada di Yaman. perhatian beliau pada karya-karya ilmiah yang sangat luar biasa menuntut beliau untuk mendidirikan pusat-pusat penelitian dan kajian untuk para pelajar.
Beliau juga aktif mengadakan seminar dan kajian intensif seputar dakwah dan ilmu keislaman, begitu juga beliau banyak mendidirikan forum dan klub-klub atau yang lebih dikenal dengan istilah muntadayat diberbagai daerah di Yaman.
Pemikiran Dan Gagasan
Yang istimewa pada sosok al-Habib Abubakar ini adalah gagasan-gagasan cemerlang beliau didalam menyelesaikan berbagai problem umat. Yang beliau tuangkan dalam karya-karya beliau yang saat ini telah mencapai 150 lebih dalam berbagai disiplin ilmu. Mulai dari ilmu Fiqih, sejarah, sastra, fikroh, dakwan danmanahajiah. Bahkan beliau telah menghasilkan beberapa karya yang belum pernah ditulis oleh ulama sebelumnya.
Inilah yang membuat penulis tertarik menulis sosok dan pemikiran al-Habib Abubakar al-Adni al-Masyhur.
Ada beberapa pemikiran menarik yang bersifat global yang menurut hemat penulis sangat pas untuk di mengerti oleh kaum muslimin Indonesia. Diantaranya adalah pemikiran beliau tentang madrasah abawiyah yang mempunyai lawan madrasah anawiyah. Beliau memang mempunyai istilah-istilah tersendiri didalam berbagai pemikiran baru yang beliau gagaskan. Seperti Fiqih Tahawwulat, Sunnah mawaqif, mutsallats almadmuj, manhajul wai wassalamah dan berbagai istilah-istilah menarik lainnya.
Fiqih Tahawwulat
Selama ini kum muslimin mengenal rukun agama ada tiga, yaitu ; Islam, Iman dan Ihsan. Tiga hal inilah yang harus di ketahui oleh setiap orang mukallaf, dan sumber dari tiga dasar agama ini berasal dari hadits Nabi yang terkenal dengan hadits Jibril. Yaitu hadist ketika malaikat Jibril datang pada Rasulullah SAW dengan menyerupai seorang manusia, Jibril datang dan bertanya tentang tiga hal, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Selanjutnya Jibril bertanya kapan kiamat? Yang dijawab oleh Rasulullah dengan jawaban; yang ditanya tidak lebih mengetahui dari yang bertanya. Kemudian malaikat Jibril bertanya tentang tanda-tandanya, setelah puas dengan jawaban Nabi. Malaikat Jibril pergi, setelah itu Rasulullah bersabda pada para sahabat yang menyaksikan semua itu “dia itu jibril yang mengajarkan agama kalian“.
Dari hadits itulah ulama mengambil kesimpulan bahwa rukun agama ada tiga, namun menurut habib Abubakar rukun agama ada empat, dengan tambahan mengetahui tanda-tanda kiamat. Rukun ke empat ini di istilahkan oleh beliau dengan istilah fiqih tahawwulat.
Bedanya dengan tiga rukun yang pertama, rukun keempat bersifat elastis atau selalu berobah tergantung marhalah (masa)nya. Sedangkan yang lainnya bersifat baku yang tidak bisa berobah dengan peredaran waktu dan zaman.
Adapuan faidah mengetahui fiqih ini adalah: mengetahui sikap yang benar dalam menyikapi berbagai fitnah yang timbul disepanjang masa, dengan berdasarkan nas nabawiy. Dimana fitnah yang menjadi tanda-tanda kiamat akan terjadi sepanjang masa, sejak masa Rasulullah hingga pada puncak terjadinya kiamat.
Istinbat/pengambilan fiqih tahawwulat ini berdasarkan teks-teks suci/al-Quran dan Hadits dengan menggabungkan antara sejarah peradaban dan realitas masyarakat saat ini.
Menurut beliau, tidak sedikit para ulama yang terjebak menjadi pembantu Iblis dan Dadjjal tanpa menyadari akan hal itu, penyebabnya adalah mereka tidak memahami fiqih tahawwulat.
Beliau juga mencontohkan sikap para sahabat dan ulama yang menunjukan akan pemahaman mereka terhadap fiqih tahawwulat ini, seperti sikap Imam Ali bin Abi Tolib ketika menghadapi fitnah pemberontak dan khawarij, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah menurut beliau termasuk salah satu dari sahabat yang faham betul akan fiqih ini.
Sedangkan dari kalangan ulama beliau mencontohkan sikap al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa yang hijrah dari Basrah menuju Hadramaut, atau sikap Faqih al-Muqaddam yang mematahakan pedangnya dan bergabung dalam dunia tasawuf.
Yang jelas pemikiran beliau ini sangat membantu generasi muda dalam menyikapi berbagai persoalan yang timbul saat ini, orang yang faham akan fiqih ini akan bersikap dengan dasar nas nabawiy, bukan dengan dasar emosional atau ikut-ikutan. Masalah ini distilahkan oleh beliau dengan sunnah al-Mawaqif (cara bersikap/bertindak).
Habib Abdullah Baharun
Habib Abdullah Baharun |
Namanya memang tidak semasyhur Habaib (bentuk plural dari Habib—keturunan nabi Muhammad S.A.W) lain dari provinsi Hadhramaut. Namun seperti keelokan yaqut, keindahan dan kecantikannya tidak bisa disadari oleh setiap orang.
Bila selama ini kita hanya mengenal nama-nama seperti Habib Umar bin Hafidz dan Habib Salim Asy-Syatiri sebagai ulama dan cendikiawan muslim dari lembah Hadhramaut, maka perkenalkanlah seorang tokoh yang lain. Beliau adalah Abdullah Muhammad Abdurrahman Baharun. Lahir di kota Syihir, 1 Januari 1956. Habib Abdullah kecil pada akhirnya tumbuh menjadi seorang cendikiawan muslim seperti ulama lainnya. Menjelang usianya yang keenam puluh satu tahun ini, tidak terasa hampir 20 tahun sudah beliau menanggung amanat sebagai rektor sebuah universitas di provinsi Hadhramaut, Al-Ahgaff University.
Terlahir di tengah-tengah keluarga yang taat beragama, Habib Abdullah nyatanya memang memiliki kesamaan dengan orang-orang saleh Hadhramaut lain pada umumnya. Secara pribadi, beliau lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan yang berfaham akidah ahlussunah wal jamaah. Tanpa menganggap remeh mazhab lain, beliau mengambil mahzab Syafi’i sebagai mazhab fikihnya dan tarekat Ba’alawi sebagai jalan tasawufnya. Hal ini menyebabkan Habib Abdullah cenderung jauh dari kata kontroversial.
Antara Habib Abdullah, Cinta dan Indonesia
“Beliau terkadang bilang, Indonesia ini punya hubungan yang sangat erat dengan Hadhramaut, khususnya Ahlulbait. Sebagaimana para salaf datang menyebarkan Islam di Indonesia, beliau berusaha agar hubungan itu tetap terjaga,” ujar salah seorang murid yang cukup dekat dengan beliau.
Cerita tentang kecintaan Habib Abdullah terhadap Indonesia memang sudah tidak dapat diragukan lagi. Terlebih terhadap para penuntut ilmu, Habib Abdullah tidak segan-segan menganggap pelajar Indonesia sebagai putra-putrinya. Fakta yang paling nyata adalah sikap beliau manakala terjadi evakuasi besar-besaran ketika terjadi konflik Syiah Houthi dan pemerintah Yaman di tahun 2015.
Dengan segala kebijaksanaanya, Habib Abdullah mengizinkan para pelajar di universitasnya pulang ke Indonesia untuk menentramkan hati orang tua mereka. Selang beberapa bulan, melihat realita tidak ada kepastian sikap dari pemerintah Indonesia, Habib Abdullah memutuskan berangkat ke Indonesia. Beliau mencari bantuan sedemikian rupa hingga terwujudlah kelas darurat yang diselenggarakan di kota Gresik agar pendidikan para mahasiswanya tidak terbengkalai begitu saja.
Selama hampir setahun berdomisil di Indonesia, Habib Abdullah kerap kali mengisi seminar di berbagai pondok pesantren, lembaga pendidikan, hingga majelis dan kajian-kajian Islami. Hal ini sengaja beliau lakukan semata-mata demi kecintaannya terhadap ilmu dan juga Indonesia. “Beliau ini bukan orang Indonesia. Tapi begitu cinta dengannya. Bahkan beliau itu memikirkan Indonesia,” aku Buya Yahya dalam sebuah majlis.
Setidaknya, ada dua aspek yang sangat sering beliau tekankan dalam berbagai kesempatan. Aspek pertama adalah aspek cinta. Aspek ini meliputi cinta terhadap apa saja berikut realisasinya. Cinta terhadap keluarga berikut bentuk ucapan terimakasih kita. Pun juga cinta terhadap Nabi Muhammad berikut bentuk ketaatan kita kepadanya dan lain sebagainya.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah aspek ideologi. Beliau kerap kali memberikan penekanan terhadap hal tersebut. Bukan sebuah hal yang mengherankan, mengingat dewasa ini berbagai ideologi menyimpang semakin gencar dan bebas berkeliaran di Indonesia khususnya.
Meskipun terkesan tidak mengenal kompromi terhadap ideologi menyimpang, Habib Abdullah pada kenyataannya adalah sosok yang ramah. Pembawaannya yang murah senyum membuat kita senang memandangi wajahnya. Sikap moderat, toleran dan kecerdasan interaksi dan pemikirannya sangat dikagumi di Indonesia dan Malaysia. Hal inilah yang membuat beliau kerapkali dianggap sebagai orang saleh.
Memang, sampai saat ini Habib Abdullah tidak memiliki popularitas ulama tingkat dunia. Karena memang bagaimanapun bukan itu hal yang beliau cari. Seperti sebuah yaqut—yang mana keindahan dan nilai berharganya tidak dapat diketahui semua orang—Habib Abdullah dan segala pesonanya bersifat mastur, tertutup tidak terkenal.
Habib Ali Masyhur Bin Salim
Nama dan Nasab Beliau
Habib Ali Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Abdullah bin Abu Bakar bin Idrus bin Umar bin Idrus bin Umar bin Abu Bakar bin Idrus bin al-Husein bin Fakhrul Wujud Sayyiduna asy-Syeikh Abu Bakar bin Salim Shohib Inat, adalah Mufti Tarim, Hadhramaut, Yaman.
Kelahiran Beliau
Al-Habib Ali Al Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan di kota Tarim hari Ahad, 13 Romadhon 1358 hijriah atau 5 November tahun 1939 masehi. Al-Habib Ali Al Masyhur di didik dengan didikan yang solih di pangkuan ayahnya Habib Al Allamah Addaiah Assyahid Muhammad Bin Salim dan kakeknya Alhabib Al Allamah Almusnid Salim Bin Hafidz.
Ayahnya menamainya “al-Masyhur” (diambil dari nama guru ayahnya sendiri yang juga kakeknya dari pihak ibu, seorang ulama besar, Habib Ali bin Abd al-Rahman al-Masyhur), dan sejak kecil ia kemudian menjadi dikenal sebagai Habib Masyhur.
Pendidikan Beliau
Habib Masyhur mulai belajar ilmu di usia dini di tangani langsung oleh ayah dan kakeknya dan beliau juga belajar dari Habib Alawi bin`Abdullah bin Shihab dan Habib Umar bin`Alawi al-Kaf. Pada usia 7 tahun beliau sudah tamat dari sekolah tahfidzul qur’an Abu Murayyam dan mulai belajar di Ribat Tarim pada tahun 1365 (1946). Guru guru beliau adalah Syaikh Mahfuz bin Usman, Syaikh Salim bin Sa’id Bukayyir, Syekh ‘Abdullah Ba Zaghayfan, Syaikh Tawfiq bin Faraj Aman dan Syaikh Shalih bin`Awad Haddad. Pada thn 1375, ayah beliau mengarahkan untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk menemani kakeknya, Habib Salim, yang sedang berada di tahun-tahun terakhir hidupnya. Habib Masyhur menghabiskan dua tahun merawat dan menimba mengambil pengetahuan dan bimbingan rohani dari kakeknya.
Pada thn 1377 (1957) Habib Masyhur dikirim oleh ayahnya ke kota al-Shihr untuk belajar dari Habib Abdullah bin Abd al-Rahman Ibnu Syeikh Abu Bakar bin Salim. Beliau belajar sekitar satu tahun dan kemudian kembali ke Tarim dan bergabung dengan Al-Ma’had al-Fiqhi di mana ia belajar dan mengajar sampai thn 1382 (1962). kemudian beliau pergi ke lembah Daw’an, selatan Hadramaut untuk mengajar dan berdakwah di jalan Allah. Banyak orang mendapat manfaat dari ilmunya dan disitu beliau membuka sejumlah sekolah dan banyak majlis ilmu. Beliau berada di Daw’an selama sekitar tiga belas tahun.
Selama periode ini beliau sering mengunjungi Tarim di waktu luang, dan melakukan perjalanan ke Hijaz pada tahun 1386 (1966) untuk melakukan ibadah haji dan mengunjungi Rasulullah ﷺ. Dan selagi berada di dua kota suci itu, beliau tak lupa mengambil ilmu dari ulamanya, termasuk dari Syekh Muhammad al-‘Arabi al-Tabbani, Sayyid `Alawi bin Abbas al-Maliki, Sayyid Muhammad Amin Kutbi dan Shaikh al-Hasan Mashat.
Kembali ke Tarim dan Rezim Komunis
Pada thn 1387 H (1967 M), rezim sosialis berkuasa di Yaman Selatan dan berusaha untuk membasmi ajaran Islam dari masyarakat yaman. Para ulama dibunuh dan lembaga / sekolah diniyah keagamaan secara paksa ditutup.
Pada thn 1392 H (1973 M), rezim menculik dan membunuh Habib Muhammad bin Salim (ayah beliau), yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan rezim. Pada thn 1395 H (1975 M) Habib Masyhur pulang dari Daw’an dan kembali menetap di Tarim, dan merupakan salah satu dari beberapa ulama yang dengan gigih tetap berjuang di kota Tarim, meskipun fakta bahwa penindasan rezim ini paling sadis dan parah. beliau dengan beraninya menggantikan kedudukan ayahnya, baik urusan pribadi maupun urusan publik seperti berceramah dan mengisi majlis ilmu.
Pihak berwenang sosialis telah menghentikan banyak kegiatan keagamaan yang telah berjalan selama ratusan tahun di Tarim, namun Habib Masyhur secara bertahap membukanya kembali. Sejak kembali di Tarim beliau telah menjadi imam Masjid Jami. Beliau memainkan peran besar dalam melestarikan naskah penting yang telah diambil oleh kaum sosialis dari sekolah-sekolah agama dan rumah ulama’. Habib Masyhur mengatur kembali naskah naskah itu dan menempatkan mereka di perpustakaan Masjid Jami’, setelah masjid diperbaharui.
Beliau juga memimpin tim penyusunan pembuatan pohon silsilah keluarga keturunan Baginda Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam di Hadramaut. Pohon Nasab ini pertama kali disusun oleh Habib Abd al-Rahman bin Muhammad al-Masyhur.
Pasca Jatuhnya Rezim Komunis di Tarim
Setelah rezim sosialis jatuh 1410 (1990) dan Yaman Utara dan Yaman Selatan bersatu kembali, ia ikut berperan mengambil bagian dalam pembukaan kembali Ribath Tarim dan juga mengajar di sana. Kemudian bekerja sama dengan saudaranya, Habib Umar, dalam membangun Dar al-Mustafa, yang dibuka pada tahun 1414 (1994). Beliau menjadi direktur dan guru mahasiswa tingkat lanjut sampai hari ini. Beliau juga mengajar di Universitas Ahqaf Shar`iah Tinggi selama empat tahun sampai angkatan pertama dari siswa lulus. Sejak 1421 (2000), beliau telah menjadi ketua Dewan Fatwa Tarim (mufti Tarim). Beliau juga memegang / mengajar sejumlah mata pelajaran secara tetap di Masjid Jami` dan Dar al-Faqih al-Muqaddam dan banyak siswa datang untuk belajar dari beliau di rumahnya.
Habib Masyhur memimpin beberapa pertemuan mingguan zikir dan beliau memimpin kunjungan Ziarah secara berkelompok ke Pemakaman Zanbal Pada hari Jumat. Beliau memiliki perhatian khusus untuk pendidikan perempuan dan memegang pelajaran mingguan khusus untuk mereka.
Beliau juga mengirimkan kelompok guru dan da’i ke desa-desa dan kota-kota terpencil untuk mengajar ummat dan mengingatkan mereka tentang tugas Islam mereka.
Meskipun pengetahuannya sangat luas, Habib Masyhur sangat rendah hati dan sangat dicintai oleh murid-muridnya dan orang-orang Tarim. Bahkan dalam kuliah umum, beliau lebih suka berbicara dalam dialek Tarim. Ini adalah cara pendahulunya, yang tidak tertarik pada retorika dan bahasa yang tinggi, melainkan bahasa yang mudah dipahami oleh semua masyarakat awam. Selain menghormati komitmennya d ibidang mengajar, beliau selalu terlihat menghadiri pesta pernikahan dan memimpin sholat jenazah dan doa pemakaman. Dalam kejujuran beliau adalah seperti batu cadas dan melalui beliau lah agama masyarakat Tarim dan hadramaut tetap teguh.
Wafatnya Beliau
Beliau wafat pada 2 Syawal 1441 hijriyah atau bertepatan dengan 25 Mei 2020 menjelang dini hari. Kemudian beliau di semayamkan pada 3 syawal 1441 hijriyah atau bertepatan pada 26 mei 2020 pukul 15:30 waktu Tarim.
Penutup
Dari uraian diatas, jelas sudah kiprah dan peran para habaib dalam penyebaran islam tidak diragukan lagi. Keberhasil dakwahnya selain dengan kedalaman ilmu juga ditopang oleh tutur kata dan nasehat yang lembut. Silsilah keilmuan mereka bermuara pada salah satu ulama paling berpengaruh abad lalu, yaitu wali besar Habib Abdul Qadir Assegaf.
Demikian biografi singkat Habaib yang berpengaruh di dunia. Semoga tulisan bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi anda dalam berdakwah. Dikutip dari berbagai sumber.