Fatwapedia.com – Dahulu kala India pernah memiliki seorang ulama Mujaddid (pembaru) yang ketenarannya membahana di cakrawala dunia. Tidak lain beliau adalah Imam, ‘Allamah (sangat berilmu), Al Muhaqqiq (peneliti), pembasmi bid’ah Abu Thayyib Muhammad Shiddiq bin Hasan bin Ali bin Luthfullah Al Qinauji Al Bukhari rahimahullah tinggal di Haubal. Jika diteliti maka nasab beliau bersambung kepada Zainul Abidin bin Ali bin Husain cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelahiran Dan Perkembangannya
Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dilahirkan di Brili yang merupakan tanah air kakeknya dari jalur ibu pada tanggal 19 Jumadil Ula 1248 H. Kemudian keluarganya pindah ke sebuah kota yang bernama Qinauj. Beliau tumbuh dewasa di negeri tersebut yang merupakan tempat nenek moyangnya di India. Beliau tumbuh dalam asuhan sang ibu dalam keadaan yatim karena sang ayah telah meninggal tatkala beliau masih berusia enam tahun. Dalam lingkungan ilmiah nan agamis karena keberadaan para ulama di negeri tersebut, beliau tumbuh sebagai orang yang bersih, jujur, semangat, dan mencintai ilmu agama. Beliau pun safar ke Delhi untuk menambah faedah dan belajar ilmu agama, Al Quran, dan Sunnah dari ulama di kota itu. Beberapa cabang disiplin ilmu seperti ilmu hadis, tafsir, dan yang lainnya memang menjadi prioritas beliau saat itu. Namun demikian beliau tetap mendalami ilmu yang lain. Negeri berikutnya yang menjadi tujuan beliau dalam menuntut ilmu agama adalah Bahubal di samping berupaya untuk mencari penghidupan di sana.
Pernikahan Yang Mendukung Ibadah
Setelah kepulangan Shidiq rahimahullah dari Hijaz lalu berpindah ke India selanjutnya beliau merapat dari Qinauj ke Kota Bahubal, yaitu sebuah kota yang terletak di pertengahan Hindia. Di tempat inilah beliau melangsungkan pernikahan dengan Ratu Bahubal, yaitu Ratu Syah Jihan Bijum sehingga bergelar Nawwab Jaah Amirul Malik bin Hadar. Karena beliau menjadi menteri sekaligus wakil sang ratu dalam menghadapi dan menyelesaikan beragam permasalahan. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa pasca pernikahan beliau dengan ratu tersebut beliau tetap semangat berkhidmah dalam mendakwah Islam, baik dengan lisan atau tulisan. Padahal bisa kita bayangkan sejak saat itu beliau hidup berkecukupan dan cukup sibuk dengan urusan pemerintahan. Sekali hal tersebut tidaklah memadamkan antusias beliau dalam menuntut ilmu dan berdakwah. Bahkan beliau mampu menjadikan segala kenikmatan tersebut sebagai sarana untuk mewujudkan cita-citanya yang tinggi dan mulia.
Guru-guru Dan Murid-muridnya
Cukup banyak ulama yang pernah menjadi guru beliau dalam menuntut ilmu agama. Baik ulama India, Hijaz, atau Yaman. Beliau belajar ilmu Al Quran, hadis, atau cabang ilmu yang lain. Di antara syaikhnya yang terkenal adalah saudaranya sendiri Al ‘Allamah Ahmad bin Hasan bin Ali yang merupakan kakak kandungnya sendiri, Syaikh Mufti di Kota Delhi yang bernama Muhammad Shadruddin Khan Ad Dahlawi, Syaikh Al Qadhi Husain bin Muhsin As Sab’i Al Anshari dan beliau juga murid Syaikh Muhammad bin Nashir Al Hazimi yang merupakan muridnya Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Syaikh Al Ma’mar Ash Shalih Abdul Haq bin Fadhlullah Al Hindi yang juga merupakan muridnya Al Imam Asy Syaukani, dan Asy Syaikh At Taqiyy Muhammad Ya’qub. Adapun di antara murid-murid beliau yang menonjol dan terkenal adalah Al Muhaddis Yahya bin Muhammad Al Hazimi seorang qadhi (hakim) di Aden, Syaikh Nu’man Khairuddin Al Alusi seorang mufti di Baghdad dan yang lainnya.
Akidah Dan Manhajnya
Beliau dikenal mempunyai semangat dan antusias yang tinggi dalam memurnikan akidah dan mendakwahkan Al Quran serta hadis. Gigih pula dalam memerangi fanatisme buta, bid’ah, dan kesyirikan sepanjang perjalanan dakwahnya. Hal ini nampak jelas dalam salah satu karyanya yang berjudul “Ad Dinul Khalish” (agama yang murni) karena dalam kitab ini beliau menjelaskan secara panjang lebar tentang masalah tauhid dan kesyirikan.
Secara umum beliau berjalan di atas akidahnya ahlussunnah dan ahli hadis. Oleh karenanya pada tahun 1285 H beliau menunaikan ibadah haji di Baitullah dan dalam kesempatan tersebut beliau bertemu dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti Syaikh Hamd bin Ali bin Muhammad pengarang kitab Fathul Bayan. Syaikh Hamd memberikan nasihat yang sangat berharga kepada beliau sekaligus mempersaksikan keilmuannya. Syaikh Hamd juga menganjurkan agar mempelajari dan mengambil faedah dari dua ulama besar yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Dar’ut Ta’arudh Al Aqli wan Naqli, Ash Shawaiq Al Mursalah, Ijtima’ Al Juyusy Islamiyah, dan selainnya. Di antara kitab yang menunjukkan kelurusan akidahnya adalah sebuah risalah karyanya yang berjudul Qathfuts Tsamar fi Bayani Aqidah Ahlil Atsar. Syaikh juga menulis sebuah kitab yang berjudul Qashdus Sabil fi Dzammil Kalam wa At Ta’wil.
Sifat Dan Karakteristik Beliau
Para ulama dan kaum muslimin di zamannya mengenal Shiddiq Hasan rahimahullah sebagai figur yang baik dalam keilmuan, akhlak mulia, dan sikap komitmen dalam Al Quran serta Sunnah. Harta dan kedudukan yang dikaruniakan kepadanya dimanfaatkan untuk berkhidmah kepada Islam dan kaum muslimin, menyebarkan ilmu hadis, mendakwahkan akidah yang benar, menolong ulama Sunnah, membuat karya tulis, dan membangun perpustakaan yang syarat akan kitab-kitab Islam. Bahkan untuk mencetak Fathul Bari, Tafsir Ibnu Katsir, Nailul Authar, dan membagikannya secara gratis kepada kaum muslimin di India, Mesir, dan Turki. Beliau juga memberikan bantuan materi kepada para ulama dan menghasung mereka untuk menerjemahkan kitab-kitab hadis ke dalam bahasa India lalu menanggung biaya percetakannya.
Tak pelak pujian dan rekomendasi dari ulama mengalir kepada beliau seperti pernyataan Syaikh Hamd bin Atiq bin Rasyid rahimahullah bahwa beliau menyatakan, “Syaikh Shidiq Hasan Khan adalah saudaraku yang jujur dan memiliki pemahaman yang mendalam serta jalan yang lurus.” Syaikh Hamd juga mempersaksikan bahwa beliau mempunyai keilmuan.yang mapan dan penelitian yang luas. Tidak mengherankan jika beliau pernah ditunjuk Syaikh Basyir As Sahsuni rahimahullah untuk menjadi kepala di Madrasah Diniyah di Babhubal. Di samping sanjungan kepada beliau, kaum musliminpun mendoakan kebaikan dunia dan akhirat untuk beliau. Pribadi yang penyantun adalah salah satu budi pekerti luhur juga yang beliau tebarkan kepada sesama muslim. Bahkan kepada orang yang membantah dan mengkritiknya sekalipun.
Ya, Syaikh Abdul Hay Al Laknawi rahimahullah adalah seorang ulama besar yang sezaman dengan Shidiq Hasan Khan dan sering memberikan kritikan tajam terhadap karya tulisnya. Namun tatkala beliau mendengar berita tentang kematian Syaikh AbdulHay, beliau pun bersedih dan bahkan menangis seraya mendoakan rahmat untuknya.
Karya-karyanya
Salah satu kelebihan yang dianugerahkan kepada beliau adalah produktivitas dalam membuat tulisan ilmiah. Memang luar biasa karena beliau mampu menghasilkan beberapa tulisan hanya dalam jangka waktu satu hari. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau mampu menulis puluhan lembar dalam satu harinya dan bisa menyelesaikan kitab yang tebal hanya dalam beberapa hari. Berbagai karya tulis dalam sekian cabang ilmu dengan bahasa yang sangat beragam karena beliau menguasai bahasa Arab, Persia, dan Urdu dengan baik. Ada di antara kitab-kitab tersebut yang sudah tercetak seperti Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’an, Nailul Maram min Tafsiri Ayatil Ahkam, Ad Din Al Khalish, ‘Aunul Bari bihalli Adilatil Bukhari, As Siraj Al Wahhab, Arbauna Haditsan, dan lain-lainnya. Adapun di antara karya-karya tulisnya yang masih berbentuk manuskrip adalah Rabiul Adab, Takhilul ‘Uyun bi Ta’ariful Ulum wal Qunun, Ihyaul Mayyit bi dzikri Manaqibi Ahlil Bait, dan At Tahdzib Syarh At Tahdzib. Namun demikian adapula karya-karya beliau yang tidak diketahui keberadaanya hingga sekarang seperti Khulashatul Kasyaf, Milakus Sa’adah, Al Liwaul Ma’qud, An Nadzirul ‘Uryan, Ar Raudhul Basam, Hidayatus Sail ila adilatil Masail, dan Riyadul Jannah fi Tarajimi Ahlis Sunnah. Disebutkan bahwa di antara karya tulisnya ada lima puluh empat berbahasa Arab, empat puluh dua berbahasa Persia, seratus tujuh berbahasa Urdu. Hingga kitab-kitab beliau tersebar di berbagai penjuru negeri kaum muslimin dan banyak dirasakan manfaatnya sampai sekarang.
Akhir Hayatnya
Kaum muslimin berduka cita pada tahun 1357 H atau bertepatan dengan 1889 Masehi atas wafatnya ulama besar ini. Beliau meninggal dalam usia lima puluh sembilan tahun dan meninggalkan dua putra, yaitu Abul khair Mir Nurul Hasan Khan Ath Thayyib dan putra keduanya bernama Abu An Nashr Mir Ali Hasan Khan Ath Thahir. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik dan melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 43 vol.04 2016 rubrik Ulama. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.