Fatwapedia.com – Haji adalah kewajiban bagi yang telah mampu. Baik mampu secara fisik maupun mampu secara finansial atau biaya. Lantas apa hukumnya haji orang yang punya hutang?
Pertanyaan:
Saya punya hutang dari Bank, dan saya ingin menlaksanakan umrah. Saya tahu bahwa saya harus melunasi semua hutang sebelum saya pergi haji atau umrah. Tolong diberitahuka kepadaku metode yang benar sesuai Islam dan batasan akan hal itu?
Jawaban:
Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah.
Pertama,
Kalau hutang ini termasuk hutang riba, maka hal itu diharamkan termasuk dosa besar dan termasuk salah satu tujuh hal yang membinasakan. Dan semua umat telah mengharamkannya bangsa Yunani dahulu yang penyembah berhala, salah satu di antara mereka mengatakan yang namanya Solun, “Uang seperti ayam mandul, dirham tidak akan melahirkan dirham.”
Terdapat dalam akidah Kristen bahwa pemakan riba kalau mati tidak dikafani. Bahkan Yahudi juga mengharamkan riba. Sedangkan Islam tidak diragukan telah mengharamkan.
Allah ta’al berfirman:
وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون (سورة البقرة: 275)
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dan firman-Nya:
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين (سورة البقرة: 278)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)
Dari Abu Juhaifah radhiallahu’anha (dia berkata),
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْأَمَةِ وَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرَ (رواه البخاري، رقم 2123 )
“Sesungguhnnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam melarang harga darah, harga anjing dan kerja orang budak. Dan beliau melaknat bertato dan orang yang mentato, pemakan riba dan wakilnya serta melaknat orang penggambar.” (HR. Bukhari, no. 2123)
Daru Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melaknat pemakan riba dan wakilnya.” (HR. Muslim, no. 1597)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi sallahhau’alaihi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ (رواه البخاري، رقم 2615 ومسلم، رقم 89 )
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Mereka bertanya,”Wahai Rasulullah apa itu?” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang Allah haramkan kecuali yang dibenarkan, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh (zina) wanita mukminah baik-baik lagi terjaga.” (HR. Bukhari, 2615 dan Muslim, 89)
Dari Samurah bin Jundub radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا (رواه البخاري، رقم 1979 )
“Semalam saya melihat dua orang mendatangiku dan mengeluarkanku ke tanah suci. Kami pergi sampai di sungai dari darah. Di dalamnya ada seseorang berdiri, di tengah sungai ada seseorang di tangannya ada batu. Orang yang di sungai mendatangi. Apabila orang yang didatangi itu akan keluar, orang yang memegang batu tadi melemparkan orang tersebut dengan batu di mulutnya. Kemudian dikembalikan seperti semula. Setiap kali orang itu ingin keluar, dilemparkan dengan batu di mulutnya dan kembali seperti semula. Saya bertanya, “Siapa dia?” Maka orang yang saya lihat di sungai berkata, “Pemakan riba.” (HR. Bukhari, no. 1979)
Maka seharusnya anda bertaubat kepada Allah dari amalan ini. Adapun jika hutangnya ini hutang pinjaman lunak yang tidak ada ribanya, maka tidak mengapa.
Kedua,
Adapun haji, bagi yang tidak mampu membiayai dirinya karena kesulitan, maka dia tidak diwajibkan berhaji. Akan tetapi manakah yang lebih utama, haji atau melunasi hutang?
Yang kuat adalah hutang lebih didahulukan, karena orang yang berhutang tidak diwajibkan berhaji. Karena di antara syarat haji adalah kemampuan. Kalau terjadi pertentangan antara haji anda dengan melunasi hutang. Maka didahulukan melunasi hutang. Akan tetapi kalau tidak terjadi benturan dengan (dapat) diakhirkan waktu pembayaran atau pemilik uang sabar menunggu hutangnya. Yang kuat tidak mengapa dia haji atau umrah.
Syaikhul Islm Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak mengapa orang yang punya hutang dan kesulitan (membayar) melakukan haji kalau dihajikan oleh orang lain. Hal itu tidak dikatakan melalaikan hutangnya. Bisa jadi karena lemah bekerja atau karena pemilik hutang tidak ada sehingga tidak mungkin dibayar dari hasil kerjanya.” (Majmu Fatawa, 26/16)
Semuanya itu dengan syarat kemampuan secara sempurna dan dia dapat melunasi hutang kalau ditagih ketika telah jatuh tempo, jika anda berhutang lebih banyak dari seorang, sedangkan (anda mendapatkan) kemudahan kendaraan dan bekal. Maka anda harus menyiapkan bekal perjalan tanpa melalaikan keluarga atau orang yang menjadi tanggungan anda. Jika anda lalai memenuhi kebutuhan mereka, maka anda telah berdosa dan melalaikan amanah yang telah Allah wajib untuk dijaga.
Dari Khaitsamah, dia berkata, “Kami sedang duduk bersama Abdullah bin Amr tiba-tiba Qohraman datang dan masuk, beliau bertanya,”Apakah anda berikan makanan kepada budak itu?” Dia menjawab, ‘Tidak.” Beliau berkata, “Pergi dan berikan dia kebutuhan makannya.” Kemudian beliau mengatakan, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Cukup seseorang dikatakan berdosa jika tidak memberi makan budaknya.” (Shahih Muslim, 996)
Terdapat dari Ibnu Umar dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah dikatakan berdosa orang yang melalaikan yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Daud, 1692)
Wallahua’lam.