Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Fatwapedia.com – Zakat adalah sejumlah harta yang wajib dibayarkan oleh setiap muslim setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebagai salah satu rukun Islam, zakat dibayarkan kepada mereka yang berhak (asnaf).
Dilihat dari segi bahasa zakat berasal dari kata زكا ـ زكو ـ زكاء ـ زكوا yang memiliki arti membersihkan, shodaqoh, dan mensucikan sesuatu. Sedangkan dalam kitab Kifayatu Akhyar, secara bahasa zakat mempunyai arti dengai berkembang (Nam’u), bertambah (Barakah), dan katsrotul Khoir.
Namun pada kebanyakan kitab-kitab fiqih, lafadz zakat identik di sama artikan dengan bersih dan suci. Zakat dikatakan suci dan bersih karena ia mempunyai fungsi sebagai pembersih bagi harta yang mengeluarkan zakat (Muzzaky) dengan memberikan kepada yang haknya (Mustahiq Zakat).
Sedangkan secara istilah, zakat memiliki arti sesuai dengan pendapat para ulama di bawah ini:
Menurut Syaikh Zaenuddin al-Malibary dan kalangan ulama Syafiiyah:
اسم لما يجرج عن مال مخصوص على وجه مخصوص
Artinya: “Nama untuk sesuatu yang dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu.”
Doa Mengeluarkan Zakat
Ketika seseorang membayarkan zakatnya diantara do’a yang bisa dibaca adalah :
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Ya Rabb kami, terimalah dari kami, sesungguhnya Engkaulah maha Mendengar lagi maha Mengetahui.”
Berkata imam al Ghazali rahimahullah :
وتقول عند التصدق ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم
“Dan hendaknya engkau mengucapkan doa ketika bersedekah : ‘Ya Rabb kami, terimalah dari kami, sesungguhnya Engkaulah maha Mendengar lagi maha Mengetahui.” [Ihya al Ulumuddin (1/352)]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
يُستحبّ لمن دفع زكاةً، أو صدقةً، أو نذراً، أو كفّارةً ونحو ذلك أن يقول: رَبَّنا تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّكَ أنْتَ السَّمِيعُ العليم، قد أخبرَ الله سبحانه وتعالى بذلك عن إبراهيم وإسماعيل صلى الله عليهما وسلم، وعن امرأة عمران
“Dan disunnahkan bagi orang yang berzakat, atau bersedekah, atau membayar nadzar, atau kefarat dan yang semisal itu untuk mengucapkan: “Ya Rabb kami, terimalah dari kami, sesungguhnya Engkaulah maha Mendengar lagi maha Mengetahui.”
Sungguh Allah ta’ala telah mengkhabarkan (doa) yang seperti ini dari nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam dan juga dari istrinya Imran.” [Al Adzkar hal. 188]. Wallahu a’lam.
Doa Menerima Zakat
Disunnahkan bagi orang yang menerima zakat untuk mendoakan orang yang memberikan zakat kepadanya. Dalilnya adalah ayat berikut ini :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka.”(QS. At Taubah :103)
Imam Nawawi berkata:
وليس الدعاء بواجب على المشهور من مذهبنا ومذهب غيرنا
“Hukum mendoakan ini tidaklah wajib menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab kami dan madzhab lainnya.” (Al Adzkar hal. 309)
Adapun pilihan doa yang bisa dibaca ketika menerima zakat diantaranya adalah :
Pertama
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى …
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada (sebut nama dari yang membayar zakat).”
Catatan: Lafadz ini didasarkan pada hadis berikut :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَةٍ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
“Bila suatu kaum datang menemui Nabi ﷺ dengan membawa sedekah, beliau lalu mendo’akannya: “Allahumma shalli ‘alaihim” (Ya Allah, berilah ampunan kepada mereka).
Setelah itu bapakku menemui beliau sambil membawa sedekahnya. Beliaupun mendo’akanya: “Allahumma shalli ‘ala ali abu Aufa. (Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga Abu Aufa).”(HR. Bukhari)
Kedua
اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي أَمْوَالِهِ
“Ya Allah berkahilah dia dan juga hartanya.”
Catatan: Doa ini didasarkan kepada hadits :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَاعِيًا … فَجَاءَ بِنَاقَةٍ حَسْنَاءَ فَقَالَ أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي إِبِلِهِ
“Nabi ﷺ pernah mengutus seorang petugas pengambil zakat… Maka datanglah seorang laki-laki dengan membawa unta yang baik seraya berkata; ‘Aku bertaubat kepada Allah ﷻ dan kepada Nabi-Nya ﷺ, ‘Maka beliau bersabda: ‘Ya Allah, berikan berkah kepadanya dan kepada untanya.’ (HR. Nasai)
Ketiga
آجَرَك اللَّهُ فِيمَا أَعْطَيْت وَجَعَلَهَا لَك طَهُورًا وَبَارَكَ لَك فِيمَا أَبْقَيْت
“Semoga Allah memberikan pahala kepadamu terhadap apa yang telah engkau berikan, semoga Allah mensucikanmu dan semoga Allah memberkahimu harta yang masih ada bersamamu.”
Catatan: Redaksi ini adalah doa yang dibaca oleh imam Syafi’i, beliau berkata dalam al umm (2/64) : “Aku menyukai untuk membaca :
آجرك الله فيما أعطيت…..
Kempat
Sedangkan dalam redaksi yang hampir serupa, berikut adalah do’a yang masyhur di kalangan ulama-ulama Hanabilah :
آجَرَكَ اللَّهُ فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَبَارَكَ لَكَ فِيمَا أبْقَيْتَ، وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُورًا
“Semoga Allah memberikan pahala kepadamu terhadap apa yang telah engkau berikan, semoga Allah memberkahimu harta yang masih ada bersamamu dan semoga Allah mensucikanmu.” [Syarh al Kabir (7/168), Kasyf al Qina’ (2/263).]
Saiapa yang Berhak Menerima Zakat?
Allah berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf, yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Lagi Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60).
Asnaf atau golongan yang berhak menerima zakat yaitu:
1. Fakir dan miskin
Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis opersional sering dipersamakan, yaitu mereka yang tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memilikinya akan tetapi sangat tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usahanya.
Adapun yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau hasil usaha (pekerjaan) untuk memenuhi kebutuhan pokok dirinya dan tanggungannya termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal keperluan-keperluan lain. Jumhur Ulama berpendapat bahwa fakir dan miskin adalah dua golongan tapi satu macam. Yang dimaksud adalah mereka yang kekurangan dan dalam kebutuhan. Tetapi para ahli tafsir dan ahli fiqih berbeda pendapat pula dalam menentukan secara definitif arti kedua kata tersebut secara tersendiri, juga dalam menentukan apa makna kata itu.
2. Miskin
Sedangkan yang dimaksud dengan miskin adalah yang mempunyai harta dan hasil usaha (pekerjaan) akan tetapi masih tidak mencukupi untuk menanggung dirinya dan tanggungannya. Pemuka ahli tafsir, Al-thabari menegaskan bahwa, yang dimaksud dengan fakir yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak meminta-minta. Sedang yang dimaksud dengan miskin, yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi suka merengek-rengek dan minta-minta. Diperkuatnya lagi pendapatnya itu dengan berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa) yang sudah menunjukkan arti demikian. [Kedua kelompok tersebut berhak mendapatkan zakat sesuai kebutuhan pokoknya selama setahun, karena zakat berulang setiap tahun. Patokan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi adalah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan pokok lainya dalam batas-batas kewajaran tanpa berlebih-lebihan. Diantara pihak yang dapat menerima zakat dari kedua kelompok ini yaitu orang-orang yang memenuhi syarat “membutuhkan”. Maksudnya, tidak mempunyai pemasukan atau harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya.
3. Amil (pengurus zakat)
Sasaran ketiga dari pada sasaran zakat setelah fakir dan miskin adalah para amil zakat. Yang dimaksud dengan amil zakat ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari mengumpulkan, menyimpan, menjaga, mencatat berapa zakat masuk dan keluar serta sisanya dan juga menyalur atau mendistribusikannya kepada mustahik zakat. Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan dan tidak diambil dari selain harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintahan dan memperoleh izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintahan yang berwenang oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat pemilik harta yang dikenakan kewajiban membayar zakat.
4. Muallaf (orang-orang yang dibujuk hatinya)
Yaitu kelompok orang yang dianggap masih lemah imannya, karena baru masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhan dalam memeluk Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan masuk Islam tidak sia-sia. Dengan menempatkan golongan ini sebagai sasaran zakat, maka jelas bagi kita bahwa zakat dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat kemanusiaan melulu dan bukan pula sekedar ibadah yang dilakukan secara pribadi, akan tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka yang berwewenang untuk mengurus zakat.
Di antara kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dari kelompok muallaf yaitu:
a. Orang-orang yang diberi sebagian zakat agar kemudian memeluk Islam.
b. Orang-orang yang diberi zakat dengan harapan agar keistimewaannya kian baik dan hatinya semakin mantap.
c. Orang-orang muallaf yang diberi zakat lantaran rekan-rekan mereka yang masih diharapkan juga memeluk Islam.
5. Riqab (Hamba sahaya)
Riqab adalah, golongan mukatab yang ingin membebaskan diri, artinya budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dilepaskan jika ia dapat membayar sejumlah tertentu dan termasuk pula budak yang belum dijanjikan untuk memerdekakan dirinya.
Adapun cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dua hal, yaitu:
a. Menolong pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa ia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya.
b. Seseorang atau kelompok orang dengan uang zakatnya atau petugas zakat dengan uang zakat yang telah terkumpul dari para muzakki, membeli budak untuk kemudian dibebaskan.
Mengingat golongan ini sekarang tidak ada lagi, maka zakat mereka dialihkan ke golongan mustahik lain menurut pendapat mayoritas ulama fiqh (jumhur). Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada, yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.
6. Gharimin (orang-orang yang memiliki hutang)
Yaitu orang-orang yang menanggung hutang dan tidak sanggup untuk membayarnya karena telah jatuh miskin. Mereka bermacam-macam di antaranya orang yang mendapat berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun pada hartanya, sehingga mempunyai kebutuhan mendesak untuk berhutang bagi dirinya dan keluarganya.
Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
a. Hutang itu tidak timbul karena kemaksiatan
b. Orang tersebut berhutang dalam melaksanakan ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang dibolehkan oleh syariat.
c. Pengutang tidak sanggup lagi melunasi utangnya
d. Utang itu telah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberi kepada si pengutang.
Orang yang berhutang karena kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya, yaitu untuk membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh orang yang memberi hutang, maka ia harus mengembalikan bagiannya itu.
7. Fi sabilillah
Yang dimaksud dengan fi sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan memelihara agama serta meniggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam. Golongan yang termasuk dalam katagori fi sabilillah adalah, da’i, suka relawan perang yang tidak mempunyai gaji, serta pihak-pihak lain yang mengurusi aktifitas jihad dan dakwah.
Pada zaman sekarang bagian fi sabilillah dipergunakan untuk membebaskan orang Islam dari hukuman orang kafir, bekerja mengembalikan hukum Islam termasuk jihad fi sabilillah diantaranya melalui pendirian pusat Islam yang mendidik pemuda muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dan kekufuran serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dari musuh-musunya.
8. Ibnu sabil
Yang dimaksud dengan ibnu sabil adalah orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan, untuk saat sekarang, di samping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama. Ibnu sabil sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang yang kehabisan biaya diperjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Tujuan pemberian zakat untuk mengatasi ketelantaran, meskipun di kampung halamannya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islam memberikan perhatian kepada orang yang terlantar. Penerima zakat pada kelompok ini disebabkan oleh ketidakmampuan yang sementara. Para ulama sepakat bahwa mereka hendaknya diberi zakat dalam jumlah yang cukup untuk menjamin mereka pulang. Pemberian ini juga diikat dengan syarat bahwa perjalanan dilakukan atas alasan yang bisa diterima dan dibolehkan dalam Islam. Tetapi jika musafir itu orang kaya di negerinya dan bisa menemukan seseorang yang meminjaminya uang, maka zakat tidak diberikan kepadanya.
Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut yaitu:
a. Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
b. Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syari’at Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
c. Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang belum jatuh tempo, atau kepada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau kepada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau kepada orang yang mengingkari hutangnya, maka semua itu tidak menghalanginya.
Semoga bermanfaat.