Hukum Shalat Jum’at Bertepatan dengan Hari Raya Ied

Hukum Shalat Jum'at Bertepatan dengan Hari Raya Ied

Oleh : Muhammad Rivaldy Abdullah (Mudir Ma’had Nashirus Sunnah-Mesir)

Bismillaahi wasshalaatu wassalaam ala rasulillaah..

Pertanyaan berkenaan dengan masalah ini banyak diajukan kepada kami dan kami in sya Allaah akan memberi sedikit komentar berdasarkan apa yang kami pahami.

Kami tegaskan bahwa : “Shalat Jum’at tetap wajib dilaksanakan dan kewajibannya tidak gugur dengan adanya pelaksanaan shalat ‘ied.”

Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ibn Hazm dan ta’wil atas pendapat Imam Syafi’I yang memandang bahwa rukhshah [keringanan] untuk tidak shalat jum’at hanya ditujukan bagi penduduk kampung [ahlul bawadi], dan bukan penduduk kota [ahlul amshar].

Bisa dikatakan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (At-Tamhid, 10/277; Bidayatul Mujtahid, 1/219; Al Muhalla, 5/89; Subulus Salam, 2/112; Fatawa Darul Ifta’ Mesir, No. 366 Tahun 2006)

Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib shalat jum’at, dapat dirinci sebagai berikut :

 • Menurut Imam Ahmad, jika ada seseorang telah menghadiri shalat ‘ied —dan hari itu bertepatan dengan hari jum’at— maka tidak ada kewajiban baginya untuk menghadiri shalat jum’at. Yang wajib baginya sebatas shalat dzuhur. (Al Fatawa, 24/210; Al Mustau’ab, 3/69)

• Menurut Imam ‘Ali, Ibn Zubair dan Atha’ Ibn Abi Rabah, jika ada seseorang telah menghadiri shalat ‘ied yang bertepatan dengan hari jum’at; maka gugur kewajiban shalat jum’at dan shalat dzuhur atasnya. Itu artinya, dia tidak berkewajiban shalat apa pun setelah menunaikan shalat ‘ied, hingga tiba waktu ashar. (HR. Abdurrazzaq No. 5731; Subulus Salam, 2/111-112)

Alasan mengapa pendapat mayoritas ulama merupakan pendapat terkuat disandarkan pada beberapa argumen :

[1]. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk shalat jum’at di hari jum’at bersifat umum [‘aam] tanpa adanya takhsis terkait dengan hari ied.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Wahai orang orang yang beriman! Jika diserukan kepada kalian seruan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kalian mengingat Allaah dan tinggalkanlah jual beli…” (QS. Al-Jumu’ah  [62] : 9)

Ayat ini bersifat qath’iy tsubut, serta qath’iy dilalah. Sedangkan hujjah bagi mereka yang menggugurkan kewajiban jum’at sebab adanya berjamaah ied, adalah hujjah yang diperselisihkan baik tsubut maupun dilalahnya.

Imam Ibn Rusyd berkata :

العيد على أنّه سنّة، والجمعة على أنّها فرض، ولا ينوب أحدهما عن الآخر..

“Shalat Ied itu tiada lain hukumnya sunnah, sedangkan shalat jum’at fardhu, dan tidak dapat mewakili satu sama lain..” (Bidayatul Mujtahid, 1/219)

Ibn Hazm berpendapat bahwa sunnah tidak dapat menghapus yang fardhu. Allaah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kewajiban shalat lima waktu beserta rukhshah yang dapat diambil. Tidak ada nash satu pun yang menggugurkan shalat lima waktu ini. (lihat, Al Muhalla, 5/89)

[2]. Jika mereka beralasan bahwa takhsis nya datang dari As-Sunnah, maka kami katakan hujjah mereka yang memandang adanya rukhshah untuk tidak shalat jum’at adalah hujjah yang tidak shahih.

Mereka berdalil dengan hadits :

● Riwayat Abu Dawud No. 1073, Ibn Majah No. 1311, Al-Hakim (1/277), dan Al-Bayhaqi (3/318-319).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mushaffa dan ‘Umar bin Hafsh Al-Washabiy secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Baqiyyah : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Al-Mughirah Adl-Dlabbiy, dari ‘Abdul-‘Aziz bin Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan [shalat id] dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap melaksanakan shalat Jum’at.”

Sanad riwayat ini lemah, karena ‘an’anah Al-Mughirah Ibn Miqsam Adl-Dlabbiy. Meskipun tsiqah, ia termasuk mudallis pada martabat ketiga (Thabaqatul-Mudallisin hal. 112 No. 107)

Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim mengatakan, bahwa sanad hadits ini munkar. Sebab, Baqiyyah telah menyendiri [tafarrud] dalam meriwayatkan hadits ini daripada para perawi Syu’bah. Terbukti, hadits ini dianggap cacat oleh Imam Ahmad, Imam Ad-Daruquthni dan Imam Ibn Abdil Barr. (Qawa’id Haditsiyyah, hal. 95)

Al-Khatib Al-Baghdadi di dalam Tarikh-nya dengan sanad yang shahih mengutip ucapan Imam Ahmad Ibn Hanbal :

بلغني أن بقية روى عن شعبة , عن مغيرة , عن عبد العزيز بن رفيع , عن أبي صالح , عن أبي هريرة , في العيدين يجتمعان في يوم. من أين جاء بقية بهذا !!؟

Telah sampai kepadaku bahwasanya Baqiyyah meriwayatkan hadits dari Syu’bah, dari Mughirah, dari Abdul ‘Aziz Ibn Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, berkenaan dengan adanya dua ied yang bertemu dalam satu hari. [Aku berkata] : “Darimana Baqiyyah meriwayatkan ini?!!” (Tarikh Baghdad, 4/218).

Imam Al-Khatib juga mengutip ucapan Daruquthni bahwasanya hadits ini gharib.

Imam Ibn Abdil Barr di dalam At-Tamhid (10/272) menilai bahwa riwayat Baqiyyah dari kalangan perawi Syam adalah dha’if, dan munkar.

Baqiyyah Ibnul Walid juga meriwayatkan hadits ini dengan riwayat syadz, tanpa ada mutaba’ah dari riwayat lain. Riwayat syadz itu adalah lafadz :

 أَجْزَأَهُ يَعْنِي الْعِيدَ مِنْ الْجُمُعَةِ

(telah mencukupi –yakni shalat ied- daripada shalat jum’at).

Berkata Imam At-Thahawi di dalam Musykalul Atsar (1156) : Telah menceritakan kepada kami Bakkar Ibn Qutaybah, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, dan Abu Amir mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Aziz Ibn Rufai’, dari Dzakwan ia berkata : Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam kemudian Nabi bersabda :

إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا وَذِكْرًا، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ

“Sesungguhnya kalian telah mendapati kebaikan dan dzikir, dan sesungguhnya kami akan berkumpul [shalat jum’at]. Barangsiapa yang ingin shalat jum’at maka hendaknya shalat jum’at; dan barangsiapa yang ingin pulang maka hendaknya ia pulang.”

Telah mengeluarkan pula hadits ini Imam Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf (5728), dari Sufyan As-Tsauri, dari Abdul ‘Aziz Ibn Rufai’, dari Abu Shalih Dzakwan yang serupa dengan riwayat At-Thahawi kecuali Imam Abdurrazzaq menyebutkan kalimat :

وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ

“Barangsiapa yang ingin duduk, maka hendaknya ia duduk [di rumahnya].”

Begitu juga telah mengeluarkan Ibn ‘Adiy didalam Al-Kamil (3/93), dan Imam Bayhaqi di dalam Al-Kubra (3/318), dan Ibn ‘Abdil Barr di dalam At-Tamhid (10/272), dengan jalur riwayat dari Ziyad Ibn Abdillah Al-Bakka’I, dari Abdul Aziz Ibn Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah ia berkata : Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam kemudian Nabi berkata :

إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيدُكُمْ هَذَا وَالْجُمُعَةُ، وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ

“Sesungguhnya telah berkumpul hari raya kalian ini dengan hari jum’at. Dan sesungguhnya kami akan berkumpul [melaksanakan shalat jum’at]. Barangsiapa hendak menunaikan shalat jum’at maka hendaknya ia shalat jum’at.” Maka tatkala beliau telah mengerjakan shalat ‘ied, di siang hari beliau shalat jum’at.

Maka kami katakan –berdasarkan dua riwayat di atas- Baqiyyah Ibn Al-Walid telah bertafarrud dengan riwayat syadz beliau yang menyebutkan :

 أَجْزَأَهُ يَعْنِي الْعِيدَ مِنْ الْجُمُعَةِ

(telah mencukupi –yakni shalat ied- daripada shalat jum’at)

Justeru yang nampak dari riwayat riwayat di atas [kalau lah shahih] bahwasanya Nabi bersabda :

«إِنَّا مُجَمِّعُونَ»

“Sesungguhnya kami melaksanakan shalat jum’at”.

Mafhum dari hadits tersebut : Nabi beserta orang-orang yang wajib atasnya shalat jum’at, tetap mengerjakan shalat jum’at. Bisa dikatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat -yang tetap dibebani taklif shalat jum’at-, melaksanakan shalat jum’at. Tidak ada tersirat pemahaman bahwa Nabi mengambil rukhshah untuk tidak shalat jum’at.

Begitu juga kalimat :

 «وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ»

“Barangsiapa hendak pulang/kembali, maka hendaknya ia kembali”

merupakan informasi dari Nabi bahwasanya bagi mereka yang datang dari wilayah-wilayah jauh luar Madinah, boleh untuk tetap bersama Nabi hingga menunaikan shalat jum’at atau pulang kembali ke wilayahnya masing-masing. Ini adalah rukhshah khusus bagi mereka, karena adanya masyaqqah [kondisi berat] dalam menjalani shalat jum’at. Maka mafhum hadits ini amat jelas jika disandingkan dengan riwayat lain di dalam hadits riwayat Bukhari yang berbicara masalah ini.

Tepatlah komentar Imam Ibn Abdil Barr dalam kemusykilan ini :

فَقَدْ بَانَ فِي رِوَايَةِ الْبَكَّائِيِّ، وَالثَّوْرِيِّ لِهَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَّعَ ذَلِكَ الْيَوْمَ بِالنَّاسِ، وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ فَرْضَ الْجُمُعَةِ لازِمٌ، وَأَنَّ الرُّخْصَةَ إِنَّمَا أُرِيدَ بِهَا مَنْ لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ مِمَّنْ شَهِدَ الْعِيدَ مَنْ أَهْلَ الْبَوَادِي، وَهَذَا تَأْوِيلٌ تُعَضِّدُهُ الأُصُولُ، وَتَقُومُ عَلَيْهِ الدَّلائِلُ، وَمَنْ خَالَفَهُ فَلا دَلِيلَ مَعَهُ، وَلا حُجَّةَ لَهُ

“Sungguh telah terang dari riwayat Al Bakka’I dan Sufyan As-Tsauri berkenaan dengan hadits ini, yakni bahwasanya Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam menunaikan shalat jum’at bersama para sahabat pada hari itu. Dan dalam hadits tersebut dalil bahwasanya kewajiban jum’at lazim [tidak gugur], dan bahwasanya rukhshah sesungguhnya bagi mereka yang tidak wajib jum’at atasnya, yang telah menghadiri ied dari kalangan penduduk kampung [ahlul bawaadi]. Pemahaman inilah yang telah dikuatkan oleh nash. Tegak diatasnya dilalah-dilalah yang jelas. Siapa saja yang menyelisihi ketentuan ini maka tidak ada dalil serta hujjah bagi mereka sama sekali.” (At-Tamhid, 10/274)

●  Kalangan ini juga berdalil dengan hadits riwayat An-Nasa’I No. 1590, juga di dalam Al-Kubra (1/552) dengan nomor hadits 1793. Hadits serupa dikeluarkan juga oleh Abu Dawud No. 1070, Ibn Majah No. 1310, dan yang lainnya.

Dari Iyas Ibn Abi Ramlah As-Syami ia berkata,

شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟، قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ، ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ: «مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ».

Aku menyaksikan Muawiyyah Ibn Abi Sufyan, bertanya kepada Zaid Ibn Arqam. Ia bertanya, “Apakah engkau pernah menyaksikan dua hari raya [jum’at dan ied] saling berkumpul dalam satu hari?”. Zaid menjawab :“Iya”. Muawiyyah bertanya lebih lanjut, “Apa yang Rasulullah perbuat?”. Zaid menjawab : “Ia menunaikan shalat ied, kemudian memberikan keringanan dalam pelaksanaan shalat jum’at dengan berkata, ‘Siapa ingin mengerjakan shalat, maka shalatlah’.”

Sanad hadits ini dha’if karena status Iyas Ibn Abi Ramlah merupakan seorang yang majhul al-hal. (Taqrib At-Tahdzib, hal. 156).

Berkata Abu Bakr Ibn Khuzaimah : “Seandainya hadits ini shahih, maka aku tidak mengetahui status Iyas Ibn Abi Ramlah baik ‘adalah maupun jarh-nya.”

Berkata Imam Adz-Dzahabi di dalam Mizan Al-I’tidal (1052) :

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: لا يَثْبُتُ هَذَا، فَإِنَّ إِيَاسًا مَجْهُولٌ

“Ibnul Mundzir berkomentar atas hadits ini : Hadits ini tidak tsabit, sebab status Iyas yang majhul.”

Kalau pun kita mengikuti langkah Imam Adz-Dzahabi dalam menerima hadits ini [talaqqa bil qabul] sebab husnuddzan, akan tetapi hadits ini memuat banyak instrument yang kedhaifannya tidak terselamatkan : Pertama. Matan hadits ini munkar. Kedua. Matan hadits ini menyelisihi sumber primer (Al-Qur’an) yang qath’iy tsubut dan qath’iy dilalah. Ketiga. Hadits ini menyelisihi riwayat yang lebih shahih sebagaiman nanti akan dipaparkan.

Imam As-Shan’ani di dalam Subulus Salam menyebutkan bahwa Ibn Khuzaimah men-shahihkan hadits ini. Padahal, Imam Ibn Khuzaimah tidak betul betul memastikan bahwa hadits tersebut shahih.

Terbukti dengan apa yang ditulis oleh Imam Ibn Khuzaimah sendiri di dalam Shahih Ibn Khuzaimah :

بَابُ الرُّخْصَةِ لِبَعْضِ الرَّعِيَّةِ فِي التَّخَلُّفِ عَنِ الْجُمُعَةِ إِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، إِنْ صَحَّ الْخَبَرُ فَإِنِّي لَا أَعْرِفُ إِيَاسَ بْنَ أَبِي رَمْلَةَ بِعَدَالَةٍ وَلَا جَرْحٍ

“Bab tentang Rukhshah bagi SEBAGIAN PENDUDUK untuk tidak menghadiri Shalat Jum’at jika berkumpul shalat ‘ied dengan shalat jum’at dalam satu hari, jika memang haditsnya shahih karena aku tidak mengetahui Iyas Ibn Abi Ramlah berkenaan dengan ‘adalah dan jarh-nya.”

Komentar Imam Abu Ja’far At-Thahawi berkenaan dengan hadits di atas :

أَنَّ الْمُرَادِينَ بِالرُّخْصَةِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ هُمْ أَهْلُ الْعَوَالِي الَّذِينَ مَنَازِلُهُمْ خَارِجَةٌ عَنِ الْمَدِينَةِ، مِمَّنْ لَيْسَتِ الْجُمُعَةُ عَلَيْهِمْ وَاجِبَةً ; لأَنَّهُمْ فِي غَيْرِ مِصْرٍ مِنَ الأَمْصَارِ , وَالْجُمُعَةُ فَإِنَّمَا تَجِبُ عَلَى أَهْلِ الأَمْصَارِ.

“Sesungguhnya orang-orang yang dimaksud dalam hadits ini –yang mendapat rukhshah untuk meninggalkan shalat jum’at- adalah para penduduk ‘aliyah yang tempat-tempat tinggal mereka berada jauh diluar Madinah. Dimana kewajiban jum’at pun tidak dibebankan atas mereka. Mereka berada di wilayah yang jauh dari pemukiman, padahal ibadah jum’at itu wajib atas mereka yang berada di pemukiman.” (Syarh Musykal Al Atsar, No. 1153)

Juga komentar Imam Ibn Abdil Barr :

وَلَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى سُقُوطِ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّمَا فِيهِ دَلِيلٌ أَنَّهُ رَخَّصَ فِي شُهُودِهَا، وَأَحْسَنُ مَا يُتَأَوَّلُ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ رُخِّصَ بِهِ لِمَنْ لَمْ تَجِبِ الْجُمُعَةُ عَلَيْهِ مِمَّنْ شَهِدَ ذَلِكَ الْعِيدَ.

“Dan didalamnya tidak terdapat dalil atas gugurnya jum’at. Sesungguhnya yang ada hanyalah dalil bahwasanya Nabi memberikan rukhshah [keringanan] dalam mengahdirinya. Dan sebaik-baik penafsiran atas masalah rukhshah ini ialah : Nabi hanya memberikan rukhshah bagi mereka yang tidak wajib shalat [yang telah datang ke Madinah dari wilayah jauh].” (At-Tamhid, 10/277)

Pernyataan para Ulama Hadits ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’I :

ولا يجوز لأحد من أهل الأمصر أن يدعوا أن يجمعوا, إلا من عذر يجوز لهم به ترك الجمعة, وإن كان يوم عيد

“Maka tidak boleh bagi siapa pun dari penduduk kota untuk meninggalkan shalat jum’at. Dikecualikan bagi mereka yang udzur, maka boleh bagi mereka untuk meninggalkan shalat jum’at, jika bertepatan dengan ‘ied.” (Al-Umm, 1/366).

● Hadits selanjutnya yang dijadikan sebagai dalil adalah hadits riwayat Ibn Majah No. 1312.

حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ قَالَ: حَدَّثَنَا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ

Telah menceritakan kepada kami Jubarah Ibn Mughallis, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Mindal Ibn Ali, dari Abdil Aziz Ibn Umar, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar, ia berkata : “Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Rasulullaah, maka Nabi mengimami manusia, kemudian berkata : Barangsiapa yang ingin menghadiri shalat jum’at maka hendaknya hadir. Dan barangsiapa yang ingin meninggalkan maka silahkan tidak hadir.”

Syaikh ‘Ali Halawah mengomentari hadits ini :

إسناده ضعيف جدا

“Sanad hadits ini dha’if jiddan [sangat lemah].” (Al-Jaami’ Al-‘Aam fi Fiqh As-Shiyam, hal. 534)

Kami katakan benar, sanad hadits ini dha’if. Sesungguhnya Mindal dan Jubarah [kedua perawi hadits diatas], terkategori dha’if. Bahkan Yahya Ibn Ma’in men-jarh Jubarah dengan tuduhan “pernah berdusta”.  (Al-Jarh wa At-Ta’dil, 4/435; Mizan Al-I’tidal, 4/180; Tahdzib At-Tahdzib, 10/299; Ad-Dhu’afaa, 1/155)

Hadits ini juga dikeluarkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir (12/435/13591), dari jalur Sa’id Ibn Rasyid As-Sammak : Telah menceritakan kepada kami Atha Ibn Abi Rabah, dari Ibn ‘Umar ia berkata :

اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ فِطْرٍ، وَجُمْعَهٌ، فَصَلَّى بِهِمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِيدِ , ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا وَأَجْرًا، وَإِنَّا مُجْمِعُونَ، فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ

“Telah berkumpul dua ‘ied pada masa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam pada hari Idul Fithri dan Jum’at. Maka Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam menunaikan shalat ‘ied. Setelah itu beliau menghadap wajah jamaah, dan berkata : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya kalian telah mendapati kebaikan dan pahala. Dan kami sungguh akan melaksanakan jum’at. Maka barangsiapa yang hendak shalat jum’at maka hendaknya ia shalat jum’at. Dan barangsiapa yang hendak pulang maka hendaklah ia pulang.”

Dan Sa’id Ibn Rasyid As-Sammak, menurut Ibn Ma’in : Haditsnya tidak dianggap. Menurut Imam Bukhari dan Abu Hatim : Munkarul hadits. Menurut An-Nasa’I : haditsnya matruk. (Al-Lum’ah, 1/6)

[3]. Istidlal mereka yang beranggapan bahwa kewajiban shalat jum’at gugur, menurut kami perlu ditinjau. Sebab, di satu sisi mereka mengatakan bahwa lafadz “man” dalam hadits-hadits diatas bersifat umum, mencakup penduduk kota maupun penduduk kampung. Namun, pada kenyataannya mereka sendiri membatasi bahwa lafadz “man” disini sendiri dibatasi hanya bagi mereka yang menghadiri shalat ‘ied. Bagi mereka yang tidak menghadiri ‘ied, menurut mereka, tetap wajib shalat jum’at.

Begitu juga mereka berselisih dalam riwayat Ibnuz Zubair, yang berisi seolah-olah Ibnuz Zubair tidak melaksanakan shalat dzuhur. Sesungguhnya ihtimal-ihtimal tersebut melahirkan ta’wil yang beragam, dan melahirkan kesimpulan yang tidak memuaskan.

Disisi lain, riwayat Ibnuz Zubair sendiri mengandung kecacatan. Riwayat tersebut sebagai berikut :

● Hadits riwayat An-Nasa’I No. 1592, Al-Hakim (1/296), Ibn Khuzaimah No. 1465, dan lainnya.

اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ

“Telah berkumpul dua hari raya di masa Ibn Zubair. Kemudian ia mengakhirkan keluar [untuk mengimami orang-orang] hingga siang meninggi. Lalu ia keluar dan berkhutbah dengan khutbah yang panjang. Setelah itu ia turun dari mimbar, dan tidak shalat bersama orang-orang pada saat itu shalat jum’at. Kemudian hal ini diceritakan kepada Ibn ‘Abbas dan berkata : Ia telah menunaikan sunnah.”

Hadits ini memiliki dua jalur dari Ibn Zubair:

Pertama, dari Wahb Ibn Kaysan.  Kedua, dari Atha Ibn Abi Rabah. Ibn Abdil Barr menilai hadits ini idhtirab sebab di riwayat Abu Dawud No. 1071 dan 1572 tidak disebutkan ucapan “telah sesuai sunnah”. (At-Tamhid, 1/274).

[4]. Fakta yang ada, bahwasanya Rasulullaah dan Para Sahabat tatkala hari ‘ied bertepatan dengan hari jum’at, mereka tetap melaksanakan shalat jum’at walau telah melaksanakan shalat ‘ied. Tidak ada riwayat yang pasti bahwa Rasulullah meninggalkan shalat jum’at. Riwayat yang pasti justeru menunjukkan bahwa Rasulullaah dan para sahabat tetap shalat jum’at.

Dari An-Nu’man Ibn Basyir radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ، قَالَ: وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ، فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ

“Dahulu Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam membaca surat di dalam dua shalat ied dan shalat jum’at dengan ‘sabbihismarabbikal a’la’ dan ‘hal ataaka hadiitsul ghasiyah’. Kemudian An-Nu’man berkata kembali : “Dan jika berkumpul antara ied dan jum’at, di dalam satu hari, Rasulullah membaca kedua surat tersebut di kedua shalat tersebut [ied dan jum’at].” (HR. Muslim No. 878)

[5]. Seandainya pun ada rukhshah, sesungguhnya rukhshah yang ada hanyalah bagi mereka yang tinggal di kampung-kampung yang tidak terdapat jum’at di dalamnya. Fakta tersebut untuk hari ini agak sulit karena masjid-masjid yang ditegakkan jum’at di dalamnya dapat ditemui dimana mana. Hadits yang menerangkan hukum ini shahih.

Hadits yang digunakan hujjah ialah hadits :

 شَهِدْتُ العِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ، فَصَلَّى قَبْلَ الخُطْبَةِ، ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ العَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

“Aku menyaksikan ‘Ied bersama Utsman Ibn Affan. Dan saat itu hari jum’at. Maka Utsman shalat sebelum khutbah, kemudian beliau berkhutbah : Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya hari ini adalah hari dimana telah berkumpul bagi kalian dua ‘ied, maka barangsiapa yang ingin untuk menunggu jum’at dari kalangan ahlul awali, maka tunggulah. Dan barangsiapa yang ingin untuk pulang ke wilayahnya, maka aku telah izinkan.” (HR. Al-Bukhari No. 5572)

Ahlul ‘awali adalah orang-orang yang tinggal di pedalaman pinggiran luar kota Madinah. (An-Nawawi, Al-Majmu’, 6/301)

Menurut Syaikh Ali Jum’ah, ketentuan rukhshah hanya bagi mereka orang-orang kampung merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Utsman dihadapan para sahabat dan para sahabat diam akan hal itu. Bisa dikatakan ini merupakan ijma’ sukuti, atas ketentuan bahwasanya rukhshah bagi kalangan ahlul awali sebagaimana telah diterangkan. Dan Ijma Sahabat [termasuk Ijma’ Sukuti] merupakan dalil syar’I yang disepakati. (Fatawa Darul Ifta’ Mesir, No. 366 Tahun 2006; As-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah, 3/314).

[6]. Bagi anda yang mengambil pendapat gugurnya jum’at, maka kami menyarankan untuk tetap melaksanakan shalat jum’at. Itu karena hukum ‘azhimah, tetap lebih baik untuk diambil meski kita memiliki rukhshah [selama hukum azhimah tersebut masih mungkin untuk ditunaikan dan tidak memberatkan]. Dalam hal ini hukum azhimah nya ialah kewajiban shalat jum’at. Tidak ia tinggalkan [meski sudah mendapat rukhshah], sebab tidak ada masyaqqah [kesulitan] apa pun yang merintangi.

Kaidah fiqh berbunyi :

التمسك بالعزيمة أولى من الترخص بالرخصة

“Berpegang pada ‘azhimah [hukum asal] lebih utama ketimbang mengambil rukhshah yang ada.” (Al-Mabsuth, 3/92; Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/471)

Inilah sedikit yang kami pahami. Bahwa kewajiban jum’at sama sekali tidak gugur sebab adanya shalat ‘ied. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallaahul haadi ila aqwam at-thariq.

Leave a Comment