Oleh: Halimi Zuhdy
Fatwapedia.com – Beberapa statemen muncul membincang kata “Ru’yatul Hilal“. Ada yang berpandangan bahwa kata Ru’yah adalah melihat dengan mata telanjang, inderawi (bil ‘ain), ada pula yang berpendapat kata Ru’yah adalah sebuah pendapat, pandangan, atau melihat dengan pikiran. Ada ru’yah bil ain (melihat, menyaksikan), ada ru’yah bil ‘aql (melihat dengan pikiran), ada pula yang mengaitkan dengan kata ru’yah adalah melihat dalam mimpi (ra’a fil manam).
Terjadinya perbedaan hari raya dianggap hal wajar, karena perbedaan pandangan. Pandangan dalam membaca kata Rukyah, dan pandangan dalam menyikapinya. Saya tidak punya kompetensi untuk berkomentar terkait dengan ilmu falak, karena sudah banyak dibahas oleh para ahlinya. Hanya, sedikit menambah komentar tentang kata ra’yun (rukyah), secara bahasa dan praktiknya dalam kalimat.
Ru’yah berasal dari kata “ra’a -yara-ru’yatan” yang maknanya adalah melihat. Melihat dengan mata (bil ain). Maka, kata ‘Riwayah’ menceritakan apa yang dilihat, dan apa yang dipikirkan. Sedangkan kata Mir’ah yang berasal dari akar yang sama, bermakna cermin, berkaca (melihat dirinya dalam kaca). At-tariyah, perempuan yang melihat warna kuning setelah keluarnya darah haidnya. Rawiyah, ha’nya lil mubalaghah bermakna membawa, seperti perawi hadis dan lainnya. Riya’, memperlihatkan pekerjaan pada orang lain. Rayah, bendera yang diperlihatkan pada orang lain.
Rukyah dalam beberapa mu’jam adalah mengetahui sesuatu yang ada/terlihat (idrakul mar’i). Perbedaan dengan nadhar, kalau nadhar melihat dengan mata dan hati (Ibnu Sayyidah). Sedangkan dalam Al-Merjan, dalam keterangan tahqiq, bahwa Ru’yah adalah melihat dalam semua aspek, dengan cara apa pun (mutlak), baik melihat dengan mata (bil ain al-bashirah), dengan hati (bi qalbin bashir), atau dengan rohani (ruanii), atau dengan imajinasi (takhayyal).
Dalam Al-Qur’an, kata Ru’yah digunakan dalam beberapa makna, melihat dengan mata dalam surat An-nisa’ (153), melihat dengan hati (Al-Isra’; 1), (Al-Takatsur; 5-7), (at-Takwir; 23), (Al-Najm; 13,14). Melihat dengan ruhani, spritualitas (al-Najm; 11), melihat dengan akal pikiran (Al-Haj; 18), melihat dengan inajinasi (Al-Ma’rij; 6).
Bagaimana kata Rukyah dalam hadis Nabi berikut;
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ الْعَبْدِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْهِلَالَ فَقَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»
“Apabila kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah. Apabila kalian melihatnya [lagi], maka akhirilah puasa. Apabila hilal terhalang awan, maka hitunglah menjadi 30 hari”
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»
“Berpuasalah kalian sebab melihat hilal dan akhirilah puasa sebab kalian melihatnya [lagi]. Apabila hilal terhalang awan atas kalian, maka hitunglah menjadi 30 hari”
Maka, rukyah di sini adalah melihat dengan mata telanjang. Bulan berimajinasi. Karena ada kata ghamm (terhalang awan), yang pandangan mata terhalang dengan awan untuk melihat hilal. Maka, tidak mungkin dimaknai dengan melihat hilal dengan pandangan hati. Atau berimajinasi. Melihat hilal, menurut al faqir sangat sederhana, tidak usah menggunakan alat apa pun, kalau sudah tidak bisa terlihat, maka cukup melanjutkan dengan menggenapkan 30 hari.
Apakah dipersyaratkan melihat dengan teropong atau alat penglihat lainnya, sehingga sebelum mata melihat, ia sudah tampak terlebih dahulu?, Yang jelas tidak, karena bahasa Ru’yah adalah melihat dengan wajar atau melihat dengan mata biasa. Andai sebuah negara miskin, tidak punya alat untuk melihatnya, apakah tidak puasa atau tidak hari raya? Tidak Kan?. Ini pikiran sederhana saja.