Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Fatwapedia.com – Masalah penentuan waktu dulu sampai hari ini, telah terjadi perbedaan diantara para ulama. Karena sebagian memegang konsep satu mathla’ hilal, dan yang lainnya menggunakan konsep perbedaan mathla’.
Sehingga tulisan saya ini, bukan dalam rangka menafikan pendapat konsep satu mathla’, tapi sebagai bentuk argumen dan jawaban atas adanya klaim bahwa dalil-dalil satu mathla’ itu menunjukkan adanya ijma’. Yang benar, tidak ada ijma’ dalam perkara ini. Hal ini perlu ditegaskan, karena menyelisihi ijma’ itu bukan perkara ringan dalam agama, konsekuensinya bisa menyebabkan murtad.
Sehingga tentu klaim ijma ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan fitnah di tengah-tengah umat.
Secara umum berikut yang dipakai oleh kalangan ulama yang memegang konsep satu mathla’ yang kemudian diklaim sebagai ijma :
Dalil pertama: Arah sudah maklum
يوم عرفة اليوم الذي يعرف فيه الناس
“Arafah adalah hari yang orang-orang mengetahuinya.” (HR. Baihaqi).
Bantahan:
Tidak benar bahwa hadits ini otomatis menunjukkan adanya ijma’ satu mathla’. Sebagian ulama telah menjelaskan bahwa makna “orang-orang mengetahuinya” adalah masyarakat di suatu wilayah. Khatib Syarbini rahimahullah berkata:
وليس يوم الفطر أول شوال مطلقاً بل يوم فطر الناس ، وكذا يوم النحر يوم يضحي الناس ، ويوم عرفة اليوم الذي يظهر لهم أنه يوم عرفة ، سواء التاسع والعاشر
“Bukanlah hari Idu Fithri itu atau satu Syawal itu bersifat mutlak, akan tetapi ia adalah hari dimana orang-orang berhari raya. Begitu juga halnya dengan hari idul Adha adalah hari manusia ber-idul adha. Dan hari Arafah adalah hari yang nampak pada manusia bahwa itu adalah waktu Arafah, sama saja ia jatuh pada tanggal sembilan atau sepuluh.”[1]
Keterangan yang sama juga dinyatakan oleh imam ar Rafi’i rahimahullah dalam syarah musnad Syafi’i, bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah orang-orang di setiap negeri.
Sehingga kesimpulannya hadits di atas adalah semakna dengan hadits :
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni) yang artinya: mengikuti apa yang diputuskan oleh penguasa setempat. Bukan dalil bahwa adanya ijma’ (sekepakatan) harus mengikuti rukyat ahlu Makkah.
Dalil kedua: Amir Makkah
أن أمير مكة خطب ثم قال عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ننسك للرؤية فإن لم نره وشهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما
“Bahwa Amir Mekkah berkhutbah kemudian berkata Rasulullah menetapkan kepada kami supaya bermanasik dengan rukyat dan jika kami tak melihatnya maka dengan dua saksi yang adil, maka kami bermanasik dengan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Daud)
Bantahan :
Dalil diatas tidak pula bisa menjadi dalil adanya ijma’ keharusan seluruh kaum muslimin di negeri lain mengikuti rukyah Makkah. Hadits itu hanya menunjukkan, bahwa ketetapan bulan dzulhijjah yang berkenaan dengan waktu manasik haji, diserahkan pada Amir Makkah. Tidak mengikuti atau menunggu keputusan dari Madinah misalnya.
Rasulullah menyerahkan kepada Amir Makkah karena beberapa pertimbangan tentunya, pertama sebab pelaksanaan ibadah Haji hanya berada di wilayah Makkah. Kedua jika keputusannya menunggu dari instruksi pusat pemerintahan semisal dari Madinah saat itu, atau nanti dari pusat kekhalifahan di Damaskus di masa Umawiyah, atau Baghdad di masa Abasiyah, maka itu akan mempersulit ibadah haji mengingat jarak waktu untuk menyampaikan informasi.
Jadi jelas konteksnya adalah pelaksanaan ibadah haji di Makkah. Bukan untuk dijadikan dalil yang diluar Makkah ibadah yang berkaitan dengan Idul Adha harus mengikuti waktu yang ada di Makkah. Karena hadits tentang mandat terhadap Amir Makkah tidak menunjukkan bahwa ru’yat mereka diberlakukan bagi kaum muslimin seluruhnya. Kaum muslimin tetap dengan ru’yat di negeri mereka masing-masing. Sebagaimana penentuan bulan-bulan Islam lain, seperti Muharram, Shofar, Rabi’ul Awwal, dll, diserahkan pada masing-masing negeri.
Jika memang hadits diatas dipahami bahwa rukyat amir Makkah harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru negeri, tentu tidak akan sampai riwayat kepada kita bahwa Ibnu Abbas, Aisyah dan beberapa shahabat ‘berani lancang” menggunakan rukyat setempat yang berbeda dengan yang ditetapkan oleh khalifah di Damaskus atau dari penduduk Makkah.
Dan karena makna memang perintah dari Rasulullah itu diartikan sebagaimana yang dijelaskan diatas, kita tidak dapatkan adanya riwayat bahwa amir Makkah setelah menemukan hilal lalu mengirim utusan ke negeri-negeri lain untuk menginformasikan hasil rukyat penduduk Makkah.
Yang kita dapatkan justru informasi bahwa perbedaan waktu itu telah ada di masa lalu. Semisal apa yang dituturkan oleh Ibnu Hajar rahimahulah:
وفي الثالث والعشرين من ذي الحجة وصل بالمبشر من الحاج … وأخبر بأن الوقفة كانت يوم الاثنين وكانت بالقاهرة يوم الأحد ، فتغيظ السلطان ظنا منه أن ذلك من تقصير في ترائي الهلال ، فعرفه بعض الناس أن ذلك يقع كثيرا بسبب اختلاف المطالع ؛ وبلغني أن العيني شنع على القضاة بذلك السبب فلما اجتمعنا عرفت السلطان أن الذي وقع يقدح في عمل المكيين عند من لا يرى باختلاف المطالع ، حتى لو كان ذلك في رمضان للزم المكيين قضاء يوم
“Pada tanggal 23 Dzulhijjah sampailah pembawa kabar berita dari haji…., ia mengabarkan bahwa wukuf (di padang Arafah) pada hari senin, dan di Kairo (Mesir) jatuh pada hari Ahad. Maka Sultan (Mesir) pun marah karena menyangka bahwa perbedaan ini timbul karena kurang (serius) dalam melihat hilal. Maka ada sebagian orang yang menjelaskan kepada Sultan bahwasanya hal ini sering terjadi karena perbedaan Mathla’. Dan telah sampai kabar kepadaku bahwasanya Al-‘Aini mencela para Qadhi disebabkan hal ini. Maka tatkala kami bertemu, maka aku pun menjelaskan kepada Sultan bahwasanya apa yang terjadi hanya akan merusak amalan penduduk Makkah menurut yang berpendapat bahwasanya tidak ada perbedaan mathla’, bahkan jika terjadi di bulan Ramadan maka wajib bagi penduduk Makkah untuk mengqada sehari.”[2]
Al imam Ibnu Abidin rahimahullah juga berkata:
يفهم من كلامهم فى كتاب الحج أن اختلاف المطالع فيه معتبر فلا يلزمهم شيئ لو ظهر أنه رأى فى بلدة أخرى قبلهم بيوم و هل يقال كذلك فى حق الأضحية لغير الحجاج لم أراه و الظاهر نعم لأن اختلاف المطالع إنما يعتبر فى اليوم لتعلق بمطلق الرأية و هذا بخلاف الأضحية. فالظاهر إنها كأوقات الصلاة يلزم قوم العمل بها فتجزئ الأضحية فى اليوم الثانى عشر و إن كان على رأية غيرهم هو الثالث عشر
“Dapat dipahami dari ungkapan para pakar ulama dalam Kitab al-Hajj, bahwa perbedaan mathla’ diperhitungkan (menjadi pertimbangan) dalam menetapkan waktu pelaksanaan ibadah haji. Oleh karena itu, jika para jama’ah haji melihat bulan di negara lain, mereka belum berkewajiban melakukan suatu apapun. Apakah hal itu pun berlaku dalam masalah penyembelihan hewan qurban bagi orang-orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji? Saya tidak melihat hal itu.
Akan tetapi menurut dzahirnya demikian, karena sesungguhnya perbedaan mathla’ hanya diperhitungkan pada hari itu karena hubungannya dengan mutlaknya melihat. Hal ini berbeda dengan penyembelihan hewan qurban. Menurut dlahirnya, penyembelihan hewan qurban adalah sama dengan waktu-waktu shalat, di mana umat Islam wajib mengamalkannya (sesuai dengan mathla’nya masing-masing). Sehubungan dengan itu, maka penyembelihan hewan qurban boleh dilakukan pada tanggal 12 Dzulhijjah, meskipun menurut pendapat orang lain, hari itu telah memasuki tanggal 13 Dzulhijjah”.[3]
Pernyataan imam Ibnu Abidin ini cukup menarik dan unik, karena beliau dan umumnya ulama madhzab Hanafi adalah kelompok yang mendukung satu mathla dalam masalah rukyat. Tapi justru dalam masalah idul Adha dan puasa Arafah beliau justru menyatakan dukungan terhadap pendapat ulama-ulama yang memegang berbeda mathla’. Memukul dengan telak klaim sebagian pihak yang mengatakan : “Perbedaan mathal’ itu hukumnya memang khilaf jika untuk Ramadhan dan Idul Fitri, tapi untuk Arafah dan idul Adha ulama telah Ijma…”
Dan ulama yang digelari ‘penghidupnya agama’ al Imam Nawawi rahimahullah menegaskan:
وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا أَنَّ الرُّؤْيَةَ لَا تَعُمُّ النَّاسَ
‘’Dan yang shahih menurut ulama madzhab kami bahwasanya ru’yah (suatu negeri) tidak dijadikan patokan bagi seluruh manusia..’’[4]
Dalil ke tiga: Larangan puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ
“Sesungguhnya Nabi shalallahu’alaihi wassalam melarang berpuasa pada hari Arafah (bagi jamaah haji yang ada) di padang Arafah.” (HR. Abu Daud).
Mereka berkata: “Ini menunjukkan pula bahwa hari Arafah itu satu, tidak berbilang dan tidak boleh berbilang. Jadi bagaimana mungkin kaum muslimin di Malaysia berpuasa Arafah pada hari penyembelihan haiwan korban, yaitu pada jamaah haji tengah menjalankan ‘Idul Adha? Dan bagaimana mungkin mereka merayakan ‘Idul Adha sekaligus melakukan shalat ‘Id pada hari sewaktu jamaah haji sudah memasuki awal hari Tasyriq?”
Bantahan: “Hadits diatas pendalilannya adalah larangan berpuasa bagi jama’ah haji yang sedang menunaikan wuquf di Arafah. Meskipun kemudian para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Sebagian mengatakan tetap boleh berpuasa jika tidak menyebabkan lemah dari mengerjakan rangkaian ibadah haji lainnya. Dan mayoritas ulama dalam hal ini memakruhkan, tidak sampai mengharamkan. Disebutkan dalam al Mausu’ah :
ذهب جمهور الفقهاء المالكية والشافعية والحنابلة إلى كراهة صوم يوم عرفة للحاج وذهب الحنفية إلى استحبابه للحاج إذا لم يضعفه عن الوقوف بعرفات ولا يخل بالدعوات
“Mayoritas ulama dari kalangan Mailkiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat dimakruhkan berpuasa arafah bagi para jamaah haji, sedangkan Hanafiyah mengatakan tetap disunnahkan berpuasa jika tidak membuatnya lemah dari melakukan wuquf di Arafah dan terlewat dari beribadah.”[5]
Maka ketika hadits ini dibawa-bawa untuk mengharamkan ibadah puasa dan shalat Id di tempat lain karena berbeda pendapat dalam masalah waktu, jelaslah ini sebuah kesembronoan yang nyata. Bantahan tentang klaim ini bisa dibaca ditulisan kami sebelumnya: MELURUSKAN PENUKILAN YANG SALAH ATAS HARI ARAFAH.
Yang dimana para ulama telah membantah hal ini, diantaranya Al imam Ibnu Hajar al Asqalani berkata :
كلاما ظاهره أن هذه المسألة كانت مشتهرة عند الناس أنها راجعة إلى اختلاف المطالع
“Pendapat yang benar bahwa dalam masalah ini (puasa Arafah) telah masyhur di sisi orang banyak bahwa ia di kembalikan kepada perbedaan mathla’.”[6]
Dalil ke Empat: Larangan puasa di Hari raya
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ: يَوْمَ الفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى
“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari ‘Idul Fitri, dan hari ‘Idul Adha.” (HR. Bukhari dan Muslim).
إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْب وَذِكْرِ اللهِ تَعَالى
“Hari-hari di Mina (hari-hari Tasyriq) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah Ta’ala.” (HR. Muslim).
Bantahan: Dalil-dalil diatas konteks hukumnya adalah larangan untuk berpuasa di waktu waktu yang telah disebutkan, yakni saat hari raya . Dan mayoritas ulama sepakat dalam masalah ini.[7] Namun tidak untuk digunakan sebagai dalil bahwa ketika ada yang sudah berhari raya karena mengikuti rukyat global misalnya, yang berbeda waktu karena mengikuti rukyat setempat haram hukumnya, tidak seperti itu.
Syaikh Shalih Munajid ketika menerangkan hadits semisal berkata:
وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه
“Maka pemahamannya adalah : Puasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari rayanya penduduk negeri yang kalian tinggal di dalamnya. Sama saja apakah itu sama dengan negeri asli kalian atau berbeda. Demikian juga pada puasa Arafah ikutilah negeri yang kalian tinggal di dalamnya.”[8]
Dan ini sesuai dalil-dalil yang telah menegaskannya, diantaranya :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa adalah hari dimana kalian menunaikan puasa, dan berbuka (Iedul Fithr) adalah hari dimana kalian berbuka, dan penyembelihan (Iedul Adha) adalah hari dimana kalian menyembelih.” (HR. Tirmidzi)
Dan imam Tirmidzi ketika menjelaskan hadits diatas mengatakan :
وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث، فقال: إنما معنى هذا الصوم والفطر مع الجماعة وعظم الناس
“Para ulama telah menjelaskan hadits ini bahwa maknanya adalah hendaknya berpuasa dan berhari raya bersama kaum muslimin dan mayoritas kaum muslimin.”
Dalil keenam: Klaim adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bagian I
Ibnu al Arabi mengatakan:
… وَأَنَّ سَائِرَ أَهْلِ اْلآفَاقِ تَبِعٌ لِلْحَاجِ فيْهَا.
“Bahwa seluruh umat Islam dari berbagai belahan dunia wajib hukumnya mengikuti jamaah haji di Mekkah.” (Ahkamul Qur`ân, 1/ 143).
Bantahan: Saya tidak mengerti dan cukup heran kenapa ‘penulis’ artikel membawa-bawa pernyataan Ibnu al Arabi untuk masalah ini, apakah beliau tidak membaca kitab tersebut secara utuh?
Karena sebenarnya Ibnu Arabi dengan pernyataan itu sama sekali tidak sedang membicarakan konsep satu mathla, apa lagi mengklaim ijma’, tapi beliau sedang membahas bahwa siapapun yang berhaji dari negeri manapun harus mengikuti cara ibadah yang berlaku di Makkah oleh jama’ah haji lainnya. Artinya jangan membuat acara sendiri.
Jika ingin jelas, silahkan merujuk langsung dan membaca di kitab Ahkamul Qur’an tersebut.
Dalil ketujuh : Klaim adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bagian II
Syekh Dr. Muhammad Sulaimân Al-Asyqâr mengatakan :
إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ جَمِيْعِ أَقْطَارِ الْعَالَمِ اْلإِسْلاَمِيِّ قَدْ أَجْمَعُوْا إِجْمَاعاً عَمَلِيّاً مُنْذُ عَشَرَاتِ السِّنِيْنَ عَلىَ مُتَابَعَةِ الْحُجَّاجِ فِيْ عِيْدِ اْلَأْضْحَى وَلاَ يَجُوْزُ لِأَيِّ جِهَةٍ أَوْ مَجْمُوْعَةٍ مِنَ النَّاسِ مُخَالَفَةُ هَذَا اْلإِجْمَاعِ
“Sesungguhnya kaum muslimin di seluruh penjuru dunia Islam telah sepakat dengan kesepakatan yang bersifat ‘amal (dipraktikkan) semenjak puluhan tahun yang lalu untuk mengikuti para jamaah haji dalam Idul Adha, dan tidak boleh bagi pihak atau kelompok mana pun untuk menyalahi ijma’ ini.”
Bantahan: Pernyataan ini telah disanggah para ulama lainnya. Diantaranya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Khalil :
فهو أمر غير مسلم به ولا يستند إلى دليل ، فمازال الناس يختلفون في ذلك . فأما عدم اجتماعهم قبل توفر وسائل العلم الحديثة للاتصال فهو معلوم لا يشك فيه عاقل ، فإن المسلمين قبل اختراع وسائل الإتصال الحديثة ، لم يلتفتوا أصلاً إلى وقوف الناس في عرفة كشرط لصومهم عرفةَ في بلادهم، طوال أكثر من ألف وثلاثمائة عام ، بل ولم يذكر أحد من الفقهاء أن من شرط صحة صيام يوم عرفة أن يوافق وقوف الناس بعرفة
“Ini adalah perkara yang perlu dikritisi, karena justru sejak dahulu manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Adapun perselisihan yang terjadi sebelum banyaknya media komunikasi maka ini wajar dan tidak diragukan lagi bagi orang berakal.
Karena kaum Muslimin ketika belum ditemukan media komunikasi modern mereka sama sekali tidak berpatokan pada wuqufnya jama’ah haji, semisal dalam hal menentukan puasa Arafah. Ini terjadi sepanjang 1300 tahun lebih. Bahkan tidak ada satu pun fuqaha yang mensyaratkan sahnya puasa Arafah adalah mencocoki wuqufnya jama’ah haji di Arafah”.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawi ketika beliau ditanya mengenai perbedaan pendapat penduduk Amerika dalam penentuan Idul Adha dan puasa Arafah antara mengikuti penanggalan Saudi atau penentuan otoritas muslim setempat, beliau justru menguatkan penentuan waktu umat Islam setempat.[9]
Juga ini difatwakan oleh tim Fatwa Soal Jawab Agama di situs Al-Syabakah Al-Islamiyah yang diketuai oleh Syekh Dr. Abdullah Al-Faqih, [10] Juga oleh Syekh Hani bin Abdullah Al-Jubair, seorang Qadli Mahkamah Makkah[11] Dan lainnya.
Maka jelas sekali lagi klaim adanya Ijma’ dalam masalah ini tidak berdasar, karena ternyata faktanya para ulama berbeda pendapat dulu hingga sekarang, dan dalam kaidah usul fiqih dinyatakan :
ولا يصح الإجماع مع وجود الخلاف منها
“Tidak dibenarkan (klaim ) Ijma’ dengan adanya perselisihan di dalamnya.”
Demikian. Semoga tulisan dengan judul Membantah Klaim Ijma’ Puasa Arafah Adalah Saat Wuquf Arafah bermanfaat. Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Tuhfatul Muhtaj (1/595)
[2] Inbaa’ Al-Ghomr bi Abnaa’ al-Umr (8/78)
[3] Radd al Mukhtar (2/393).
[4] Syarh Shahih Muslim (7/197)
[5] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (45/331)
[6] Inba’il Ghamar ( 3/350)
[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (28/17).
[8] Mauqi’ al Islami Sual wa Jawab (5/3229).
[9] Mi’ah Su-al ‘an Al-Hajj wa Al-‘Umrah wa al-Udhhiyah wa al-‘Idain, Darul Qalam, Damaskus, th 2002, hal. 181-184.
[10] Normor Fatwa 14067 :
:فالذي يظهر لنا هو أن يوم عرفة بالنسبة لكم هو اليوم الذي يسبق يوم العيد، لأنه هو اليوم التاسع بالنسبة لكم، ونظير هذا هو ما يكون في ليلة القدر فإنها بالنسبة لكم قد لا تكون كليلة القدر بالنسبة لغيركم، وصيام يوم عرفة منفصل عن وقوفه في عرفة، فالصيام يشرع لمن لم يكن حاجاً، وبالتالي فهو مربوط بالزمن وليس بالمكان، والزمن بالنسبة لكم هو المعتبر، ومع هذا لو صمت الجمعة والخميس كان ذلك أولى، لأن الخميس هو اليوم الثامن، وهو يوم التروية، وقد شرع صومه.
[11] Nomor fatwa 22/6/1424 H:
فإذا كان المسلم في بلد يعمل الرؤية الشرعية، ويعتمدها طريقاً لإثبات التاريخ فإن المسلم فيه يعمل بمقتضى ما أثبته المختصون عنده، ويصوم عرفة يوم التاسع، ولو كان يوافق في مكة اليوم الثامن أو العاشر، أما في المناسك فإنه يعمل بالرؤية حسب ثبوتها في مكة، عن أبي هريرة – رضي الله عنه- أن النبي – صلى الله عليه وسلم- قال: “الصوم يوم تصومون، والفطر يوم تفطرون، والأضحى يوم تضحون”،رواه الترمذي (697)، وأبو داود (2324) وابن ماجة (1660)، ومثله عن عائشة – رضي الله عنها- عند الترمذي (802)، وصححه الألباني في السلسلة برقم (224)، والله الموفق والهادي