Menolak Pinangan Raja Dan Memilih Orang Biasa

Menolak Pinangan Raja Dan Memilih Orang Biasa

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 
Telah dikisahkan sebelumnya bahwa Imam Sa’id bin Musayib rahimahullah pernah menolak lamaran khalifah Abdul Malik bin Marwan atas putrinya, lalu ia malah menikahkan putrinya tersebut dengan salah satu muridnya. 
Bagaimana kisahnya ? Mari kita simak langsung riwayatnya dari pelaku utamanya yakni Ibnu Abi Wada’ah, sang murid yang kemudian menjadi menantu dari imam Sa’id bin Musayib.
Berkata Ibnu Abi Wada’ah : “Aku selalu hadir di majelis imam Sa’id bin Musayib dan tidak pernah sekalipun absen, sampai suatu saat aku absen sehari. Dan ketika aku hadir kembali ia bertanya kepadaku : “Dari mana engkau ?”
Aku menjawab : “Istriku kemarin meninggal, sehingga aku harus mengurus pemakamannya.”
Ia berkata : “Mengapa engkau tidak mengkhabari kami, agar kami bisa bertakziyah kepadamu ?
Aku diam saja. 
Lalu ia berkata kembali : “Apakah engkau sudah mendapatkan pandangan istri selanjutnya ?”
Aku menjawab : “Semoga Allah merahmatimu. Siapakah kiranya yang mau menikahkan aku dengan putrinya sedangkan aku hanya memiliki harta dua atau tiga dirham.”
Ia menjawab : “Aku yang akan menikahkanmu.”
Aku bertanya seolah tidak percaya apa yang aku dengar : “Benarkah ?”
Imam Said bin Musayib lalu memuji Allah, bershalawat kepada Rasulullah lalu menikahkan aku saat itu juga di tengah majelis dengan mahar 2 atau 3 dirham harta yang aku miliki. 
Setelah selesai akad, aku berdiri dan tidak tahu apa yang akan aku perbuat karena sangking gembiranya hatiku.
Aku kemudian pulang ke rumah. Dan aku mulai berfikir kepada siapa aku akan berhutang untuk memenuhi kebutuhan saat itu. 
Aku lalu pergi shalat Maghrib ke masjid, lalu selesai shalat aku segera kembali ke rumahku untuk berbuka puasa. Saat itu aku hanya memiliki sepotong roti dan minyak zaitun.
Saat aku sedang makan, tiba-tiba pintu rumahku diketuk. 
Aku lalu bertanya : “ Siapa itu ?”
Suara di balik pintu menjawab : “Sa’id.”
Isi kepalaku langsung berputar mengingat-ingat siapa saja dari teman-temanku yang bernama Sa’id. 
Dan aku tidak mengetahui yang bernama Sa’id kecuali guruku Sa’id bin Musayib. Sedangkan dia tidak pernah pergi kemanapun. Selama 40 tahun rutenya hanya antara rumahnya dan masjid.
Lalu aku bergegas membuka pintu, ternyata benar yang mengetuk pintu adalah guruku Sa’id bin Musayib. Aku berkata kepadanya : “Wahai guru, jika ada keperluan tidakkah engkau kirim saja utusan agar aku bisa datang kepadamu ?”
Ia menjawab :
لا، أنت أحق أن تؤتى، إنك كنت رجلا عزبا، فتزوجت، فكرهت أن تبيت الليلة وحدك، وهذه امرأتك
“Tidak, engkaulah yang lebih berhak untuk didatangi. Engkau tadinya laki-laki yang menjomblo, lalu aku nikahkan engkau. Maka aku tidak suka dirimu bertemu malam dalam keadaan kesepian seorang diri…. Ini dia istrimu.”
Saat itu putrinya berdiri di belakang Sa’id. Lalu Sa’id memegang tangannya, membimbing masuk ke pintu rumahku. Lalu ia menutup pintu dan berlalu pergi.
Suasana menjadi canggung. Istriku berjalan dan terjatuh karena malunya. Aku lalu menggeser mangkuk roti di suatu tempat agar ia tidak melihat makananku. Setelahnya aku langsung menghambur naik jendela atas rumah untuk memanggil para tetangga.
Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, “Ada apa wahai Abu Wada’ah?”
 
Aku menjawab gembira, “Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Sa’id bin Musayib, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini.” 
Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, “Sadarkah engkau dengan apa yang engkau ucapkan ? Mana mungkin Sa’id bin Musayib menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ia tolak.”
Aku menjawab : ” Sungguh ini benar, engkau bisa datang dan melihatnya di rumahku.”
Beberapa tetanggaku berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur istriku itu. Tak lama kemudian ibuku datang.
Setelah melihat istriku, dia berpaling kepadaku seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat.” Aku katakan, “Terserah ibu.”
Istriku dibawa oleh ibuku. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadaku. Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadits Rasulullah, juga paham akan hak-hak suami. 
Sejak saat itu dia tinggal bersamaku. Selama beberapa hari ayah, ibu maupun keluarganya tidak ada yang datang. 
Pernah aku hendak beranjak ke luar rumah, istriku bertanya : “Hendak kemana engkau suamiku ?”
Aku menjawab : “Menghadiri majelis Sa’id bin Musayib.”
Ia lalu berkata : 
اجلس أعلمك علم سعيد
“Duduklah wahai suamiku. Aku akan ajarkan kepadamu ilmunya Sa’id bin Musayib.”
Setelah hampir satu bulan aku tidak keluar rumah, kemudian aku datang lagi ke majelis Sa’id bin Musayib di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam. Setelah majelis sepi, tinggal kami berdua, beliau bertanya, 
ما حال ذلك الإنسان؟
“Bagaimana keadaan orang itu (maksudnya putrinya) ?”
Aku menjawab : “Dia dalam keadaan disukai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.”
Sambil tersenyum ia berkata, “Alhamdulillah.”
Sesudah aku kembali ke rumah, kudapati beliau mengirim utusan dan mengirim uang sebanyak 20.000 dirham ( 1,4 milyar) untuk membantu kehidupan kami.”
Konon, ketika kisah ini diceritakan kepada putra-putra Abdul Malik, termasuk al Walid, salah seorang dari mereka berkomentar, “Sungguh mengherankan orang tua itu.” 
Orang yang bercerita itu berkata, “Apa yang mengherankan wahai tuan ? Dia memang manusia yang menjadikan dunianya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhiratnya. Dia membeli untuk diri dan keluarganya, akhirat dengan dunianya.
 Demi Allah, bukan karena beliau bakhil terhadap putra Amirul Mukminin dan bukannya beliau memandang bahwa al-Walid tidak sebanding dengan putrinya itu. Hanya saja beliau khawatir dan takut putrinya akan terpengaruh oleh fitnah dunia ini.”
Sumber: Siyar A’lam Nubala (4/217 – 245)

Leave a Comment