Penjelasan Hadits Larangan Mencabut dan Menyemir Uban


Fatwapedia.com – Rambut beruban adalah kondisi di mana rambut seseorang mulai berubah warna menjadi abu-abu atau putih. Kondisi ini terjadi karena pigmentasi rambut berkurang secara alami seiring dengan bertambahnya usia.
Pigmen yang memberikan warna pada rambut disebut melanin, dan seiring bertambahnya usia, produksi melanin dalam folikel rambut berkurang. Akibatnya, rambut kehilangan warna aslinya dan tampak beruban atau berwarna putih.
Kondisi ini bukanlah suatu penyakit atau gangguan kesehatan, melainkan merupakan proses alami dari penuaan. Beberapa faktor yang dapat mempercepat proses beruban pada rambut antara lain faktor genetik, stres, kurangnya asupan nutrisi yang tepat, serta beberapa kondisi medis tertentu.
Benarkah mencabut dan menyemir uban itu terlarang?
Jawab:
Larangan itu terdapat dalam beberapa hadits. Diantaranya:
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نتف الشيب، وقال ((هو نور المؤمن)).
“Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam melarang mencabut uban,” dan ia berkata : “Itu adalah cahaya bagi seorang mukmin.” (HR. Ibnu Majah No. 3721)
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, berkata :
“أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نتف الشيب وقال إنه نور المسلم”. هذا حديث حسن وقد رواه عبد الرحمن بن الحارث وغير واحد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mencabut uban, dan bersabda : bahwa itu adalah cahaya bagi seorang muslim.” (HR. At-Tirmidzi No. 2975, ia berkata : hadits ini hasan)
Akan tetapi, ada juga beberapa  riwayat yang malah menunjukkan bahwa mencabut uban itu hanya makruh semata, bukan haram. 
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
 أن النبي الله صلى الله عليه وسلم كان يكره الصفرة يعني الخلوق وتغيير الشيب يعني نتف الشيب وجر الإزار والتختم بالذهب…
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam memakruhkan shafrah, yakni wangi-wangian, merubah uban yakni mencabutnya, menjulurkan kain, dan memakai cincin emas …” (HR. Abu Dawud No. 4222, An-Nasa’i No. 5088, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 15464)
Namun yang mesti diperhatikan, hadits ini berstatus munkar dan lafadznya mengandung kecacatan. Sebab, para ulama telah bersepakat bahwa penggunaan cincin emas bagi laki laki bukan sekedar makruh, akan tetapi haram.
Ada riwayat lain yang dijadikan alasan kemakruhannya, Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu mengatakan:
يكره أن ينتف الرجل الشعرة البيضاء من رأسه ولحيته.
“Dimakruhkan bagi seorang laki-laki mencabut rambut kepalanya yang memutih dan juga janggutnya.” (HR. Muslim No. 2341,  Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 14593)
Apa yang dikatakan Anas bin Malik ini menjadi bayan/penjelas, sekaligus dalil yang kuat makruhnya mencabut uban baik di kepala atau di janggut. Dan, ini menjadi pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki bahwa mencabut uban adalah makruh, bukan haram. Inilah pandangan yang lebih kuat.
Imam An-Nawawi berpendapat:
“Sahabat-sahabat kami [Syafi’iyah] dan sahabat-sahabat Malik [Malikiyah] mengatakan: dimakruhkan, dan tidak diharamkan.” (Syarh Shahih Muslim, 8/59)
Kemakruhan mencabut uban ini bukan hanya bagi rambut uban di kepala, tapi juga uban pada janggut, kepala, kumis, alis, dan pipi; baik untuk laki-laki maupun wanita. (Syaikh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, 4/227)
Karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa larangan dalam hadits tersebut berfaidah makruh, sebagaimana langsung dikatakan oleh salah seorang Sahabat Nabi, dan sekaligus pelayan bagi beliau, yakni Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Juga karena larangan tersebut tidak disertai dalil lain yang menunjukkan keharamannya secara tegas. Itu berarti, jika mencabut uban maka tidak mengapa. Namun jika dibiarkan maka ia dapat pahala.
Jika mencabut uban dihukumi makruh, lantas bagaimana hukum menyemir uban tersebut [terutama dengan warna hitam]?
Dalam fiqh Islam, al-khidhob [penyemiran] dengan warna hitam diperselisihkan hukumnya. Adapun dengan warna lain maka mutlak boleh, selama tidak menyelisihi ‘urf di masyarakat.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Abu Quhafah, ayahnya Abu Bakar, datang saat penaklukan Makkah. Rambut dan jenggot beliau telah memutih. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَبُوا السَّوَادَ.
“Ubahlah ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim No. 2102)
Al-Imam An-Nawawi berkomentar mengenai hadits ini :
“Dan madzhab kami [madzhab Syafi’I] menganjurkan menyemir uban bagi laki laki ataupun perempuan dengan warna kuning atau merah. Dan haram menyemir dengan warna hitam. Dikatakan makruh, [maksudnya ialah] makruh tanzih. Dan yang terpilih ialah makruh tahrim [haram] berdasarkan hadits ini. Inilah pendapat kami.” (Syarh Shahih Muslim, 14/80)
Sebagian ahli ilmu membolehkan penyemiran dengan warna hitam ini [meski tetap dianggap makruh]; sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibn Hajar Al-Asqolani. Beliau berkata :
وأن من العلماء من رخص فيه في الجهاد ومنهم من رخص فيه مطلقا وأن الأولى كراهته، وجنح النووي إلى أنه كراهة تحريم، وقد رخص فيه طائفة من السلف منهم سعد بن أبي وقاص وعقبة بن عامر والحسن والحسين وجرير وغير واحد 
”Sebagian ulama’ ada yang memberikan keringanan [menyemir dengan warna hitam] ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh. Bahkan An-Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat kepada haram. Sebagian ulama’ salaf memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) misalnya Sa’ad ibn Abi Waqqash, ‘Uqbah bin ‘Aamir, Al-Hasan, Al-Husain, Jarir, dan lainnya…” (Fathul Bari, 10/354-355)
Dan yang paling hati-hati adalah pendapat yang membolehkan menyemir rambut dengan warna apapun, namun tidak berwarna hitam. Bukan berarti haram, akan tetapi sebatas makruh [tidak disukai]. Ini berlaku baik bagi laki laki maupun perempuan. Hal ini , dikarenakan tidak adanya qarinah [indikasi] yang tegas akan keharaman menyemir rambut dengan warna hitam; juga adanya bukti keterangan sebagian ulama salaf seperti ‘Utsman, Al Hasan dan Husayn, ‘Uqbah Ibn Amir, serta Ibn Sirin dan yang lainnya; menyemir rambut mereka dengan warna hitam. Perbuatan mereka menunjukkan bahwa pemahaman akan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam soal semir dengan warna hitam itu sebatas makruh. (Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, 4/2680).
Sekali lagi, yang utama adalah tidak disemir dengan warna hitam. Apalagi jika tidak ada kebutuhan. Wallaahu a’lam.
Pesantren Nashirus Sunnah Mesir

Leave a Comment