Fatwapedia.com – Duduk Istirahat adalah duduk istirahat adalah duduk yang dilaksanakan setelah bangkit dari sujud pada rakaat ganjil yaitu rakaat pertama atau ketiga, sebelum berdiri tegak menuju rakaat kedua atau keempat. Para ulama sepakat bahwa duduk istirahat bukanlah termasuk rukun atau kewajiban dalam salat, namun mereka berbeda pendapat terkait dengan hukum duduk istirahat ini kepada dua kelompok. Pendekatan kelompok pertama disebut dengan pendekatan bayani, yaitu penentuan hukum berdasarkan analisis bahasa, di antaranya penunjukan dan kejelasan lafaz sehingga sampai pada kesimpulan bahwa duduk istirahat disunnahkan secara mutlak.
Sedangkan kelompok kedua, menggunakan analisis ta’lili yaitu penentuan hukum berdasarkan sebab hukum yang berasal dari teks maupun korelasi antar dalil, sehingga kesimpulannya duduk istirahat hanya sebagai rukhsah atau keringanan yang dilakukan ketika ada kesulitan untuk berdiri secara langsung, misalnya karena kegemukan atau sakit. Adapun argumentasi kedua pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Kelompok pertama yang menyatakan bahwa duduk istirahat adalah sunah secara mutlak.
Pertama, Hadis dari Malik bin al-Khuwairits
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا
Bahwa dia (Malik bin al-Khuwairits) melihat Nabi saw melaksanakan salat, jika sampai pada rakaat yang ganjil (setelah rakaat pertama atau ketiga), maka beliau tidak bangkit berdiri hingga duduk (sejenak)” (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 164)
Dalam hadis di atas secara manthuq sarih (makna yang secara tegas ditunjukan lafaz), menunjukan bahwa Rasul Saw setelah sujud, tidak berdiri sebelum duduk terlebih dahulu, duduk disini maksudnya adalah duduk istirahat.
Kedua, Hadis dari Abu Humaid as-Sa’idi
ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ، ثُمَّ نَهَضَ
Kemudian beliau turun sujud sambil berkata Allahu akbar. Kemudian menghamparkan kakinya seraya duduk tegak lurus sehingga setiap tulang kembali kepada posisinya, kemudian beliau berdiri (H.R. Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 2/107)
Hadis di ataspun menunjukan secara manthuq sarih bahwa setelah sujud beliau tidak langsung berdiri, tapi duduk terlebih dahulu, sehingga semua tulang kembali dalam posisi duduk tumaninah, lalu kemudian berdiri tegak.
Dua hadis di atas cukup untuk menunjukan disunahkannya duduk istirahat dalam salat. Adapun hadis-hadis yang tidak menyebutkan adanya duduk istirahat, maka tidak menafikan adanya sunah duduk istirahat dan dapat ditempuh dengan jalan metode jama’ atau kompromi diantara pertentangan dua dalil dengan solusi ikhtilaf al wuqu’ yaitu perbedaan peristiwa yang memungkinkan kesimpulan hukum jawazul amrain atau keduanya dapat diamalkan, baik duduk istirahat terlebih dahulu ataupun langsung berdiri. Dengan demikian kesimpulan kelompok pertama bahwa duduk istirahat dalam salat adalah sunah secara mutlak.
kelompok kedua berpandangan duduk istirahat sebagai rukhsah (keringanan) bukan azimah (asal)
begi kelompok kedua, duduk istirahat dipandang sebagai rukhsah saja bagi yang kesulitan untuk langsung berdiri. Argumentasinya, pertama, hadis-hadis bahwa Rasul Saw tidak melaksanakan duduk istirahat. Kedua, atsar para sahabat tidak duduk istirahat. Ketiga, adanya petunjuk illat bahwa Rasulullah Saw duduk istirahat karena kesulitan untuk langsung berdiri ketika lanjut usia, gemuk dan lemah. Dengan demikian, perbuatan Rasul saw duduk istirahat bukan berlaku mutlak, tapi karena adanya illat yaitu kesulitan.
Adapun argumentasi kelompok ini adalah:
Pertama, Hadis-hadis yang tidak menunjukan tidak adanya duduk istirahat berdasarkan keterangan dari sahabat Wail bin Hujr:
فَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذَيْهِ
“Maka apabila akan berdiri, beliau berdiri atas kedua lututnya dan bersandar (tangan) pada kedua pahanya” (H.R. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, 2/99)
Hadis diatas menunjukan beliau tidak duduk istirahat terlebih dahulu tapi langsung berdiri dengan menyandarkan lutut dan memposisikan tangan di kedua pahanya sebagai sandaran. diperkuat oleh dua keterangan dari sahabat Abu Hurairah:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَضُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ»
“Nabi saw bangkit (dari sujud) salat dengan bertumpu pada ujung jari telapak kaki.” (H.R. Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 2/80)
فَلَمَّا سَجَدَ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ. ثُمَّ اسْتَقْبَلَ قَائِمًا مَعَ التَّكْبِيرِ، فَلَمَّا قَامَ مِنَ الثِّنْتَيْنِ، قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ. فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“..maka ketika beliau sujud bertakbir Allahu akbar kemudian beliau berdiri sambil bertakbir Allahu akbar, maka ketika bangkit dari dua rakaat beliau mengucapkan Allahu akbar dan setelah selesai salam berkata demi jiwaku berada dalam genggaman Allah, sesungguhya salatku adalah yang paling mirip dengan salat Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam” (HR. Ibn Huzaimah, Sahih Ibn Khuzaimah, 1/364)
Sebagai tambahan dari keterangan dari sahabat Abu Malik al-Asy’ari:
ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ رَأْسَهُ، ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ، ثُمَّ كَبَّرَ فَانْتَهَضَ قَائِمًا
Abu Malik al-Asy’ari: “…Kemudian beliau (Rasulullah saw) bersujud kemudian bertakbir sambil berdiri” (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, 37/540).
Keempat hadis di atas saling menguatkan satu sama lain bahwa saw tidak duduk istirahat terlebih dahulu. Tapi langsung berdiri dengan bertumpu pada kedua kaki dan lutut. Keterangan tidak adanya duduk istirahat secara Mutlaq diperkuat oleh atsar para sahabat. di antaranya yang diketahui riwayatnya tidak duduk terlebih dahulu tapi langsung berdiri dengan bersandar dengan kedua kakinya Abdullah bin Umar (HR. Ibn Abi Syaibah No. 4002, 4007), Abdullah bin Mas’ud (HR Ibn Abi Syaibah No 3999) dan Abdullah bin Zubair (HR Ibn Abi Syaibah No. 4005)
Adapun terkait Hadis-hadis Rasulullah saw telah lanjut usia dan gemuk sebagai illat hukum adanya rukhsah duduk istirahat. berdasarkan keterangan, pertama, reportase dari Aisyah:
لَمَّا بَدَّنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَثَقُلَ كَانَ أَكْثَرُ صَلاَتِهِ جَالِسًا.
“Ketika Rasulullah saw telah berusia lanjut dan gemuk, maka kebanyakan salat yang beliau lakukan sambil duduk.” (H.R. Muslim, Sahih Muslim, 2/164).
Hadits di atas menjadi illat bahwa Rasulullah saw bahwa ketika dalam keadaan lanjut usia dan gemuk, beliau banyak melaksanakan salat sambil duduk. Mafhum muwafaqahnya termasuk di dalamnya duduk istirahat.
Kedua, hadis dari sahabat Muawiyah bin Abu Shafyan:
لَا تُبَادِرُونِي بِرُكُوعٍ وَلَا بِسُجُودٍ فَإِنَّهُ مَهْمَا أَسْبِقْكُمْ بِهِ إِذَا رَكَعْتُ تُدْرِكُونِي إِذَا رَفَعْتُ وَمَهْمَا أَسْبِقْكُمْ بِهِ إِذَا سَجَدْتُ تُدْرِكُونِي إِذَا رَفَعْتُ إِنِّي قَدْ بَدَّنْتُ
Nabi saw bersabda: “Janganlah kalian mendahuluiku dalam rukuk dan sujud. Sebab segala ruku’ yang terlebih dahulu saya lakukan sebelum kalian, kalian bisa menyusulku saat saya mengangkat rukuk. Dan segala sujud yang kulakukan sebelum kalian, bisa kalian susul ketika saya mengangkat sujud. Sesungguhnya saya telah tua.” (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, 34/198)
Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya supaya tidak mendahului gerakan beliau, karena beliau sudah tua dan lemah, bukan berarti ketika beliau belum tua boleh untuk mendahului, hanya beliau lebih menekankan lagi, karena kondisinya yang sudah tua, akan berpengaruh terhadap tempo dan gerakan salat, sehingga lebih berhati-hati supaya tidak mendahului. Secara diallah isyarah diantara pengaruh beliau sudah tua dan lemah adalah duduk istirahat sebelum berdiri tegak.
Ketiga, keterangan Abu Qilabah, duduk dan bertumpunya kedua tangan ke tanah karena tidak mampu langsung berdiri disebabkan lanjut usia atau kelemahan lainnya:
عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فَصَلَّى بِنَا فِي مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلَاةَ وَلَكِنْ أُرِيدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَالَ أَيُّوبُ فَقُلْتُ لِأَبِي قِلَابَةَ وَكَيْفَ كَانَتْ صَلَاتُهُ قَالَ مِثْلَ صَلَاةِ شَيْخِنَا هَذَا يَعْنِي عَمْرَو بْنَ سَلِمَةَ قَالَ أَيُّوبُ وَكَانَ ذَلِكَ الشَّيْخُ يُتِمُّ التَّكْبِيرَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنْ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ قَامَ
Dari Abu Qilabah berkata, “Malik bin Al Huwairits datang kepada kami lalu salat bersama di masjid milik ini, kemudian berkata, “Aku bukan ingin melaksanakan salat, tapi aku akan menerangkan kepada kalian bagaimana Nabi saw melaksanakan salat.” Ayyub berkata, “Lalu aku bertanya kepada Abu Qilabah, “Bagaimana cara salat dia?” Abu Qilabah menjawab, “Seperti salatnya syaikh/orang yang sudah tua kita ini, yaitu ‘Amru bin Salamah.” Ayyub berkata, “orang tua kita itu selalu menyempurnakan takbir. Dan jika mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua dia duduk di atas tanah, kemudian baru berdiri.” (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/164).
Menurut keterangan Abu Qilabah bahwa Amr bin Salamah melakukan duduk istirahat terlebih dahulu dan bertumpu kedua tangannya pada tanah atau bumi, sebelum berdiri tegak untuk rakaat kedua atau keempat, namun beliau menyatakan bahwa Amr bin salamah dalam keadaan sudah tua dengan menyebutnya “as-syaikh”.
Terdapat keterangan tambahan terkait hadis diatas dari Ayyub:
قَالَ أَيُّوبُ : وَكَانَ عَمْرُو يَصْنَعُ شَيْئًا لاَ أَرَى النَّاسَ يَصْنَعُونَهُ ، كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ آخِرِ السَّجْدَتَيْنِ فِى الأُولَى وَالثَّالِثَةِ اسْتَوَى قَاعِدًا ، ثُمَّ يَقُومُ. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ عَارِمٍ.
Ayub berkata “Dan Amr bin salamah melakukan apa yang tidak aku lihat para sahabat melakukannya. Dan jika mengangkat kepalanya dari dua sujud pada rakaat pertama dia duduk sejajar, kemudian baru berdiri (rakaat kedua). (H.R. al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 2/121).
Keterangan Ayub diatas menegaskan keanehan dari Amr bin Salamah tersebut karena para salaf lain tidak melakukannya, yaitu duduk terlebih dahulu sebelum berdiri menuju rakaat kedua atau keempat. Namun terdapat qarinah bahwa beliau melakukan hal tersebut karena sudah tua dan lemah, sehingga perlu ancang-ancang terlebih dahulu sebelum bangkit untuk berdiri tegak.
Adapun jawaban kepada kelompok yang pertama, hadis Malik bin al-Khuwairits dan Abu Humaid maksudnya adalah Rasulullah saw duduk sebelum berdiri untuk rakaat kedua atau keempat telah lanjut usia, sehingga beliau perlu menyandar terlebih dahulu dengan qarinah-qarinah hadis-hadis di atas. Sehingga kedudukan duduk istirahat adalah sebagai rukhsah dengan sebab lanjut usia, kegemukan atau lemah, sedangkan hukum asal atau azimahnya adalah langsung bangkit dari sujud kemudian berdiri tegak tanpa duduk istirahat terlebih dahulu.
Dari dua kelompok di atas, yang paling kuat dari sisi argumentasi adalah kelompok yang kedua. Dengan demikian kesimpulannya, pertama, duduk istirahat adalah duduk yang dilaksanakan setelah bangkit dari sujud setelah rakaat ganjil yaitu rakaat pertama atau ketiga, sebelum berdiri tegak menuju rakaat kedua atau keempat. Kedua, azimah atau asalnya bangkit dari sujud itu langsung berdiri, tanpa terlebih dahulu duduk istirahat. Ketiga, boleh duduk istirahat sebagai rukhsah atau keringanan dengan illat atau alasan karena lanjut usia, lemah, sakit, kegemukan dan lainnya yang mengakibatkan kesulitan langsung berdiri dari posisi sujud.
Oleh: Ustadz Ginanjar Nugraha, Mudir Ma’had Imam al-Bukhari