Fikroh.com – Salah seorang nenek moyang Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wassallaam bernama Hasyim bin Abdul Manaf. Dia adalah pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Masyarakat Mekah mematuhi dan menghormatinya.
Nama asli Hasyim adalah Amr. la dinamakan Hasyim, karena ia meremukkan (Hasyim artinya meremukkan) roti untuk kaumnya di Makkah. Hasyim tambah disayangi penduduk Mekah karena pada suatu musim kemarau yang mencekam, dia pernah membawa persediaan makanan dari tempat yang jauh. Padahal, saat itu makanan amat sulit didapat.
“Terima kasih, wahai Hasyim! Engkau menolong kami dengan pemberian makanan ini!” seru penduduk Mekah.
Pemberian minum kepada jama’ah haji dan penjamuan mereka adalah salah satu tugas yang dijalankannya. la juga orang pertama yang memberi tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) kepada jama’ah haji di Makkah.
Hasyim adalah orang yang pertama meletakkan dua perjalanan bagi orang-orang Quraisy; perjalanan di musim dingin dan perjalanan di musim panas. “Wahai penduduk Mekah, aku membagi perjalanan kalian menurut musim. Jika musim dingin tiba, pergilah berdagang ke Yaman yang hangat. Jika musim panas, giliran kalian pergi ke syam yang sejuk!” demikian keputusan Hasyim.
Di bawah kepemimpinan Hasyim, Mekah berkembang menjadi pusat perdagangan yang makmur. Pasar-pasar didirikan sebagai tempat berniaga kafilah-kafilah dagang yang datang dan pergi silih berganti, baik musim panas maupun pada musim dingin. Demikian pandainya penduduk Mekah berdagang, sampai-sampai tidak ada pihak lain yang mampu menyaingi mereka.
Akan tetapi, disamping kemajuan besar itu, masyarakat Arab juga mengalami kemunduran luar biasa. Itulah sebabnya mereka dijuluki masyarakat jahiliah alias masyarakat yang diliputi kebodohan. Itulah juga sebabnya sampai Allaah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus rasul terakhir-Nya di tempat ini.
Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju Syam. Ketika melewati Yatsrib, yang kemudian disebut Madinah, Hasyim melihat seorang wanita baik-baik dan terpandang. “Siapakah wanita itu?” tanya Hasyim kepada orang-orang Yatsrib. “Dia adalah Salma binti Amr. Salah seorang dari Bani Adi bin An-Najjar.”
“Apakah dia telah bersuami?”. “Suaminya telah tiada. Kini dia seorang janda.” Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan Salma pun menerimanya. Mereka lalu menikah. Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa lama.
Salma binti Amr melahirkan anak laki-laki untuk Hasyim dan diberi nama Syaibah. Hasyim meninggalkan anaknya, Syaibah dalam perawatan istrinya hingga mencapai usia baligh atau sesudah mencapai usia baligh. Waktu itu, Hasyim pergi melanjutkan perniagaannya. Namun, itulah kali terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah kembali lagi. Dia meninggal dunia di Gaza, Palestina.
Sementara itu, sepeninggal Hasyim, kedudukannya sebagai pemuka masyarakat Mekah dipegang oleh adik Hasyim yang bernama Al Muthalib.
Al Muthalib juga seorang laki-laki terpandang yang dicintai pendudukn Mekah. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan sebutan Al Fayyadh yang berarti Sang Dermawan. Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah, keponakannya yang tinggal di Yatsrib, sedang tumbuh remaja.
“Aku harus menemuinya,” pikir Al Muthalib, “dia adalah anak kakakku. Dulu, ayahnya adalah pemuka Mekah, maka dia harus pulang untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya menggantikan aku.”
Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di Yatsrib, dia tersentak, “Mari Nak, ikut paman ke Mekah, ” peluk Al Muthalib. “Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi, aku akan tetap tinggal di sini, ” jawab Syaibah.
“Tidak, aku tidak akan membiarkannya pergi,” jawab Salma, “dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnyalah yang senantiasa mengingatkan aku akan wajah ayahnya.”
“Aku juga menyayangi Hasyim,” jawab Al Muthalib, “bukan cuma aku, tetapi penduduk kota Mekah juga menyayanginya. Mereka pasti akan senang sekalu menyambut kedatangan putra Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku timbil kepadanya. Seolah-olah, aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku. Izinkan aku membawanya pergi. Sesungguhnya, Mekah adalah kaum ayahnya dan Mekah adalah tanah suci yang dicintai oleh seluruh bangsa Arab. Tidakkah pantas putramu pergi ke sana dan melanjutkan pemerintahan ayahnya?”
Salma memandang Syaibah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ingin agar putranya itu tetap tinggal di sisinya. Namun, dia tahu masa depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di Mekah. Akhirnya, dia pun mengangguk, “Baiklan, ku izinkan ia pergi.”
Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak keponakannya itu pulang. Syaibah duduk membonceng unta di belakang pamannya. Ketika mereka tiba di Mekah, orang-orang menyangka bahwa anak yang duduk di belakang Al Muthalib adalah budaknya.
“Abdul Muthalib (budak Al Muthalib)! Abdul Muthalib!” panggil mereka kepada Syaibah. “Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia anak saudaraku, Hasyim!”
Namun, orang-orang terlanjur menyebutnya demikian sehingga akhirnya nama Syaibah pun terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi Kakek Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wassallaam.
Sumber : Buku Muhammad Teladanku dan Buku Sirah Nabawiyah, Ibn Hisyam