Baru Suci Setelah Masuk Waktu Ashar, Apakah Wajib Shalat Dzuhur?

Pertanyaan
Bismillâhirrahmânirrahîm. Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasûlullah. Pertanyaan saya: Jika seorang perempuan suci dari darah haidh atau nifas setelah waktu Ashar masuk, apakah dia harus Shalat Zhuhur kemudian Ashar, atau Shalat Ashar saja? Bagaimana caranya dia menggantikan shalat dengan cara lain, maksudnya jika dia suci sehabis Shubuh, atau Zhuhur, atau Maghrib atau `Isyâ’? Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.
Jawaban
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasûlullah beserta keluarga dan para shahabat beliau. Ammâ ba`d.
Jika seorang perempuan suci setelah masuk waktu Ashar, maka dia harus melaksanakan Shalat Zhuhur dan Ashar menurut Jumhûr Ulama. Ibnu Qudâmah mengatakan di dalam Al-Mughni, “Perkataan ini diriwayatkan dari Abdurrahmân ibnu `Auf, Ibnu Abbâs, Thâwûs, Mujâhid, An-Nakh`i,  Az-Zuhri, Mâlik, Al-Laits, Asy-Syâfi`i, Ishâq dan Abu Tsûr.” Al-Imâm Ahmad berkata, “Sebagian besar Tâbi`în mengatakan seperti itu kecuali Al-Hasan (Al-Bashari) saja, berkata: Tidak wajib shalat kecuali waktu ketika dia suci saja. Dan itu adalah perkataan Ats-Tsauri dan Ashhâbur Ra’yi.” Al-Atsram, Ibnul Mundzir dan yang lainnya meriwayatkan dari Abdurrahmân ibnu `Auf dan Abdullah ibnu Abbâs, bahwa mereka berdua berkata tentang wanita haidh yang suci sebelum terbit fajar, “Harus Shalat Maghrib dan `Isyâ’. Jika dia suci sebelum terbenam matahari maka wajib Shalat Zhuhur dan Ashar. Kalau suci setelah terbenam matahari maka hanya wajib Shalat Maghrib. Demikian juga jika suci setelah terbit fajar, maka tidak wajib baginya kecuali Shalat Shubuh. Namun jika suci setelah terbit matahari, maka tidak wajib shalat, karena waktu Shubuh telah habis ketika dia masih diragukan dalam keadaan haidh.” Wallâhu a`lam.

Hanya Mengerjakan Shalat Ashar

Adapun menurut pendapat kedua Jika wanita suci pada waktu Ashar, ia cukup mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan lagi shalat Zhuhur. Alasannya adalah dalil berikut.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: – مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Barangsiapa yang mengerjakan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 579 dan Muslim, no. 608)
وَلِمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَهُ, وَقَالَ: “سَجْدَةً” بَدَلَ “رَكْعَةً”. ثُمَّ قَالَ: وَالسَّجْدَةُ إِنَّمَا هِيَ اَلرَّكْعَةُ
Menurut riwayat Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha ada hadits serupa, di mana beliau bersabda “sekali sujud” sebagai pengganti dari “satu rakaat”. Kemudian beliau bersabda, “Yang dimaksud sekali sujud itu adalah satu rakaat.” (HR. Muslim, no. 609)
Dari hadits di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau “Fath Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram” menyatakan, seorang wanita yang suci di waktu Ashar, maka ia hanya mengerjakan shalat Ashar saja, tidak lagi shalat Zhuhur.
Faedah dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin kaitannya dengan wanita haidh:
  • Jika wanita haidh suci, lalu masih bisa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia punya kewajiban untuk melaksanakan shalat.
  • Sebagian ulama berpandangan pula kalau wanita datang haidh padahal sudah masuk waktu shalat dan ia bisa dapati satu rakaat, maka jika suci, ia tetap mengqadha shalat.
 
Dalam Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadat (hlm. 139-140), “Jika wanita haidh suci sebelum keluar waktu, ia hanya diharuskan mengqadha shalat yang ia suci saat itu. Inilah pendapat dalam madzhab Hanafiyah, Zhahiriyah, perkataan sebagian salaf, juga pilihan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.”
Kesimpulan:
Pendapat kedua, kami nilai lebih kuat karena dalil hadits yang disampaikan. Di samping itu pula, wanita yang suci dari haidh asalnya tidak dibebani kewajiban selain saat waktu yang ia dapati. Wallahu a’lam.

Leave a Comment