Pertanyaan
Ia pergi haji, tetapi ia menyuruh orang lain untuk menggantinya wuquf di Arafah dengan alasan tidak mampu pergi di sana karena ia lumpuh. Untuk dimaklumi, ia datang berhaji dari Aljazair dan ia telah melaksanakan thawâf dan sa`i dengan menggunakan kursi roda. Ia juga minta diwakilakan orang lain dalam melontar jumrah. Saya mohon penjelasannya!
Jawaban
Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Tidak sah mewakilkan wuquf di Arafah, berbeda dengan mewakilakan melontar jumrah. Bagi orang yang mewakilkan wuqufnya kepada orang lain, ia wajib berhaji di tahun mendatang. Karena wuquf di Arafah adalah rukun ibadah haji yang paling asasi. Rukun ini memiliki kekhususan tersendiri bahwa bagi siapa yang terlewatkan wuquf di Arafah maka ia telah terlewatkan ibadah haji. Wuquf di Arafah sebagai rukun haji telah ditetapkan oleh dalil-dalil dari Al-Quran, Sunnah dan Ijmâ`. Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah (yang artinya): “Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah).” [QS. Al-Baqarah: 199]. Ayat ini diturunkan untuk memerintahkan berwuquf di Arafah. Adapun dalil dari Sunnah banyak sekali. Yang paling masyhur adalah hadits: “Haji itu adalah Arafah.” Adapun dalil dari Ijmâ`, banyak ulama yang telah menjelaskan hal ini. Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa wuquf adalah rukun haji, dan barang siapa yang terlewatkan wuquf, maka ia harus berhaji lagi di tahun depan.”
Jika seorang yang berhaji meninggalkan wuquf secara sengaja atau terlupa atau tidak mengetahui hukumnya, sampai terbit fajar hari Nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah), maka hajinya tidak sah dan tidak mungkin dikejar setelah itu. Dan kewajibannya setelah itu ialah melanjutkan ihramnya untuk Umrah dan ber-tahallul darinya.
Para ulama dari mazhab fikih yang empat sepakat membedakan antara “rukun” dan “wajib” dalam masalah Haji dan Umrah. Mereka mengatakan bahwa ibadah waji memiliki rukun dan kewajiban-kewajiban. Efek pembedaan ini terlihat ketika rukun atau wajib itu ditinggalkan. Barang siapa yang meninggalkan salah satu rukun dari rukun-rukun Haji dan Umrah maka ibadah hajinya tidak sempurna kecuali dengan mengerjakannya. Kalau rukun tersebut memungkinkan untuk dilaksanakan, maka ia harus melaksanakannya, seperti thawaf dan sa`i. Jika tidak mungkin dilaksanakan, seperti orang yang terlewatkan waktu ber-wuquf di Arafah, karena fajar hari Nahr telah tebit dan ia belum sempat berwuquf, maka ia telah terlewatkan ibadah haji pada tahun itu, dan ia ber-tahallul dari Umrah dan ia harus berhaji kembali pada tahun mendatang. Hal ini karena hakikat ibadah haji ini tidak terwujudkan kecuali dengan melaksanakan seluruh rukunnya.
Jika saudara yang bersangkutan tidak menyaratkan atau ber-tahallul dari Umrah, maka ia akan tetap dalam keadaan ber-ihram. Maka caranya hanya dua, kembali untuk menyelesaikan umrah dan ber-tahallul darinya, atau tetap dalam keadaan ber-ihram, menghindari seluruh larangan-larangan ihram sampai ia haji di tahun mendatang.
Wallâhu a`lam.