Fatwapedia.com – Islam telah mengatur hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia melalui ajaran dan prinsip-prinsipnya. Dalam Islam, hubungan manusia dengan Allah didasarkan pada keyakinan akan keesaan Allah (Tawhid) dan ketaatan terhadap perintah-Nya. Muslim meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang disembah dan bahwa hubungan manusia dengan-Nya dapat diperkuat melalui ibadah, doa, taqwa (takwa), dan mengikuti ajaran-Nya sebagaimana yang diungkapkan dalam Al-Quran dan Sunnah (tradisi dan tindakan Rasulullah Muhammad).
Selain hubungan dengan Allah, Islam juga mengatur hubungan antara sesama manusia. Prinsip-prinsip yang dijunjung dalam Islam termasuk adil, saling mengasihi, hormat, dan tolong-menolong. Muslim diajarkan untuk memperlakukan sesama manusia dengan kesetaraan, menghindari kezaliman, dan memelihara hubungan yang baik dengan keluarga, tetangga, teman, dan masyarakat pada umumnya. Inilah yang dinamakan mu’amalah. Penjelasan selengkapnya bisa dilihat pada tulisan di bawah ini.
Pengertian Mu’amalah
Kata mu’amalah berakar dari kata ‘amala (عامل) yang mengandung arti “saling berbuat” atau “berbuat secara timbal balik”. Secara sederhana, muamalah berarti “hubungan antara orang dengan orang”. Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Dalam pengertian harfiah muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah.
Secara istilah, Pengertian muamalah dalam arti luas menurut Muhammad Yusuf Musa, adalah “peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.” Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit menurut Rasyid Ridha, adalah “tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.”
Pengertian Fiqih Mu’amalah
Adapun pengertian fiqh muamalah, menurut Abdullah Al-Sattar Fathullah Sa’id, adalah “hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya dalam persoalan jual beli, utang piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah dan sewa-menyewa.”
Pembagian dan Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
Syari’ah Islam mencakup ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek sistem keimanan (ahkam al-i’tiqadiyah), sistem akhlak (ahkam al-khuluqiyah), dan sistem amaliyah (ahkam al-‘amaliyah). Secara sederhana dapat dilihat pada skema pembidangan syariah Islam sebagaimana berikut.
1. Ahkam al-i’tiqadiyah adalah seperangkat ketentuan yang mencakup aspek akidah atau teologi, yakni sistem keyakinan (keimanan) yang bersifat monotheisme yang lazimnya dikenal dengan rukun iman (arkan al-iman).
2. Ahkam al-khuluqiyah adalah seperangkat norma dan nilai tentang etika, moral atau akhlak, yakni sistem perilaku yang terpuji, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya.
3. Ahkam al-‘amaliyah adalah tata aturan yang mengatur aspek sistem amaliyah, yakni meliputi seperangkat kaidah dan aturan hukum yang mengatur perilaku amaliyah manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan (ahkam al-‘ibadah) maupun dalam hubungannya dengan sesama manusia (perilaku sosial), yang lazimnya dikenal dengan ahkam al mu’amalah.
Dalam kajian muamalah sebagaimana lazimnya dikenal dalam ilmu fiqh (fiqh muamalah), merupakan kategori muamalah dalam pengertian sempit. Adapun muamalah dalam pengertian luas merupakan bagian dari aspek syari’ah dalam arti sempit, bahkan hanya merupakan sub-sistem dari ahkam al-amaliyah.
Ruang Lingkup Mu’amalah
Menurut Suparman Usman, muamalah sebagai perangkat ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar manusia (makhluk), meliputi:
1. Ahkam al-ahwal al-syakhshiyah, yakni bidang hukum yang mengatur tentang hukum orang (subyek hukum) dan hukum keluarga, seperti hukum perkawinan.
2. Ahkam al-madaniyah, yakni bidang hukum yang mengatur tentang hukum benda (obyek hukum), atau yang mengatur masalah yang berkaitan dengan benda, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjammeminjam, penyelesaian harta warisan atau hukum kewarisan, atau yang lazim disebut dengan hukum benda.
3. Ahkam al-jinayah, yakni bidang hukum yang berhubungan dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana (jarimah, delict), dan ancaman atau sanksi hukum bagi yang melanggarnya (“ugubah), atau yang lazim disebut dengan hukum pidana.
4. Ahkam al-qadha’ wa al-murafa’at, yakni bidang hukum yang berkaitan dengan acara di peradilan (hukum formil), yang antara lain menyangkut aturan tentang alat-alat bukti, saksi, pengakuan, dan yang menyangkut aturan tentang pelaksanaan hukuman dan lain-lain, atau yang lazim disebut dengan hukum acara.
5. Ahkam al-dustiriyah, yakni bidang hukum yang berkaitan dengan masalah politik, yang antara lain menyangkut pengaturan dasar dan sistem negara, perundang-undangan dalam negara, syarat-syarat, hak dan kewajiban pemimpin, hubungan pemimpin dengan rakyatnya, dan lain-lain, atau yang lazim disebut dengan hukum tata negara dan perundang-undangan.
6. Ahkam al-dauliyah, yakni bidang hukum yang mengatur hubungan antar negara, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang, atau yang lazim disebut dengan hukum internasional.
7. Ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah, yakni bidang hukum yang mengatur tentang perekonomian dan keuangan dalam suatu negara, atau yang lazim disebut dengan hukum ekonomi dan hukum perbankan.
Bidang hukum dan kegiatan muamalah di atas adalah termasuk dalam kategori muamalah dalam pengertian luas. Sistematika muamalah dalam pengertian luas ini pada dasarnya sama dengan sistematika hukum yang dikenal dalam studi ilmu hukum.
Adapun muamalah dalam pengertian sempit meliputi sistematika “hukum perdata” sebagaimana dikenal dalam studi ilmu hukum. Muamalah dalam pengertian sempit inilah yang lazimnya disebut fiqh muamalah. Sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Mushtafa Ahmad Al-Zarga di atas, maka fiqh muamalah dapat dipahami sebagai hukum perdata Islam tetapi terbatas pada hukum kebendaan dan hukum perikatan (perjanjian). Jika dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata), maka fiqh muamalah tidak membahas “hukum perorangan”, melainkan hanya membahas “hukum benda” dan “hukum perikatan”.
Pembagian Fiqh Mu’amalah
Menurut ulama Ijtima’i, fiqh muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
1. Al-Mu’amalah al-mddiyah, yaitu muamalah yang mengkaji obyeknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah madiyah adalah muamalah yang bersifat kebendaan karena obyek figh muamalah ada ah benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, bendabenda yang memadharatkan dan benda-benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi yang lainnya. Oleh karena itu, jual beli benda bagi muslim bukan hanya sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi secara vertikal bertujuan untuk memperoleh ridha Allah dan secara horizontal bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga benda-benda yang diperjualbelikan akan senantiasa dikembalikan kepada aturan-aturan Allah. Benda-benda yang haram diperjualbelikan menurut syara’ tidak akan diperjualbelikan, karena tujuan jual beli bukan semata untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk mencari ridha Allah.
2. Al-Mu’amalah al-adabiyah, yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya jujur, hasud, dengki, dendam dan lain sebagainya. Dengan demikian, muamalah adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat dilihat dari segi subyeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. Maksud muamalah adabiyah itu antara lain berkisar dalam kerelaan dari kedua belah pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul dan lain sebagainya.
Ruang lingkup pembahasan muamalah madiyah ialah masalah jual beli (al-bai’/al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (al-kafalah dan al-dhaman), pemindahan utang (al-hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), perseroatau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah/sewa-menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-Sriyah), barang titipan (al-wadhi’ah), barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al muzara’ah), sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrah al-‘amal), sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibah), perdamaian (al-Shulhu), dan ditambah dengan beberapa masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muhadditsah), seperti masalah perbankan, asuransi, dan masalah-masalah baru lainnya.
Sedangkan ruang lingkup pembahasan muamalah adabiyah ialah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dani indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.